Jumat, Mei 14, 2010

Aku Kehilangan Siluet Tawamu

Setajam pena tua menulis syair yang telah lama bergelut di palung hati.
Aku tulis semua cerita paling pilu di baris - baris puisi.

Tak selama yang kau bayangkan aku mampu bertahan.
Sekuntum kamboja di jiwaku kian ronta menuntut aku bicara.
Lalu aku lukis pada kesahajaan kertas ini.

Apakah aku harus menyesal pada perasaanku yang seolah tabu.
Akankah terlukis segaris tanya bila kau baca resah ini.
Seluruh resah, setumpuk hasrat, hanya berharap pada cinta dan deru nafsumu.

Kering dan lesu mataku bila kurenung rona matahari yang gerhana.
Lalu lenyaplah angka – angka dan arah.
Untuk aku kembali menyulam keindahan.
Tampias di jendela.
Menyulap warta dan aksara yang memberitakan ;
Aku telah kehilangan siluet tawamu .

Lemah dan berdebu berjengkal langkah.
Meng-anak sekarat gores luka pada hitam nadiku.
Bila ku hirup sisa cinta yang tertinggal.
Masihkah ada senyum beningmu?
Untuk aku tegarkan langkah kaki menjamahi hari – hari.
Menjamahi mimpi – mimpi.
Menjamahi sapa lembutmu.
Juga menyetubuhi anggun jelita bayangmu.



Jakarta, 15 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar