Jumat, Mei 14, 2010

Nasehat Bapak Di Tengah Malam Bulan ke-9

Jangan kau cari maya, Anakku…
Sesungguhnya hakekat maya adalah tiada
Rengkuhlah yang nyata
: Karena yang nyata adalah ada
: Ada yang sejati dan bukan ada tang di ada – adakan.

Anakku,…
Dalam alam maya
Yang ada kadang terlihat tiada
Yang tiada kadang tampak ada

Janganlah samar,
Samar terhadap gelap dalam terang
Samar terhadap terang dalam gelap

O, samar…
Samarkan hatimu, samarkan batinmu
Hanya dengan hati yang samar, batin yang samar
Kau kuasa melihat gelap dalam terang
Kau mampu menjangkau terang dalam gelap

O, samar…
Sesamar temaram cahaya Maghrib
Sesamar semburat cahaya Shubuh
Tidak terang, tidak pula gelap

O, samar…
Samar yang membatasi maya dan nyata…




Jogja, Mei 2002

Hujan Di Ufuk Pagi Di Sebuah Dusun

Gemercik rintik hujan di ufuk pagi
Tak ku sangka.
Shubuh – shubuh begini ?
Sedang perkiraan cuaca mengatakan :
“Yogyakarta Cerah, 24 – 30 deajat Celcius”
Begitu tulisan di TV semalam.
Ahh, ternyata…

Masih teramat pagi, hari ini
Dingin pun menusuk - nusuk tulangku
Butir – butir hujan jatuh satu - satu

Jauh ke depan ke batas lengkung cakrawala
Ku tatap dengan kedua bola mata liar ku
Jejalan hitam kian basah
Tak seperti biasa, udara menggelar aroma – aroma sepi
Sesepi aku menembus batas – batas keheningan
Dedaun dan ranting kelor menyalami aku dengan salam ungu.
Salam yang tegas menampar kesadaranku

Dimana perempuan setengah baya yang tiap hari jalan kaki di jalan itu ?

O, itu dia…
: Berpayung plastik putih sedikit kumal.
Di punggungnya ada tenggok yang begitu berat dia bawa dengan selendang hitam
Seberat dia melakoni kemiskinan dan kesahajaannya
Meski dia tetap tegar dan berusaha untuk terus melangkah

Hujan rintik di ufuk pagi di sebuah dusun
Masih di bilangan Gamping, sebuah kecamatan di Jogja

Tak akan pernah hilang dari ingatanku, pagi itu.




Jogja, April 2002

Setetes Darah Sesesak Nafas di Kurusetra

Tercekam dalam dalam kesunyian diam, jiwa terhempasku
Di sini,
Di Kurusetra !
Pada bau anyir gundukan – gundukan tanah, masih begitu anyir
Bunga – bunga merah kamboja turut terluka, makin merah
Semerah darah tertumpah dari para pemberontak penguasa negeri
Setetes darah, sesesak nafas,

Hati menjelma dendam,
Tangan begitu kuat terkepal.
Mengepal, kumpulkan segala derita
Dendam mereka adalah muara segala penindasan

Para pemberontak melepaskan sumpahnya yang tertanam diubun – ubun
Seperti akar – akar kaktus di hamparan gurun
Mereka menunaikan tugasnya :
Memberontak pada penguasa negeri
Memberontak atas kekejaman yang melilit mereka
Memberontak atas pembunuhan – pembunuhan terhadap anak – istri mereka

Panji – panji lusuh mereka roboh, terinjak, tekoyak dan luka
Jatuh,…bersama tubuh – tubuh miskin meeka
Tanpa satu pun tersisa sekedar untuk menghirup sumpeknya udara negeri

Sebasah tanah oleh merah darah, seamis gelanggang.

Ini adalah gelanggang padang Kurusetra dengan lakon dan ending berbeda dari Bharatayuda,
Meski pengkhianatan, penderitaaan, ketamakan, penindasan dan pembuangan masih jadi tema besarnya.

Oo, Kurusetra,…
Padang ilalang duka – derita,
Di atasmu penuh kisah tragedi !
Darah, nahah, bangkai dan air mata telah menyuburkanmu
Meski pohon yang tumbuh di atasmu, tak pernah berbuah…




Jogja, Maret 2003

Pada Sebuah Malam di KINASIH

Untuk sebuah nama...
Dia duduk termenung di keharuman musim - musim bunga.
Lalu tiba - tiba terlintas pada sebuah kesunyian perjalanan waktuku.

Hadirkan pesonanya; begitu indah - begitu merdu.
Aku tersentak ;
Sadari lamunan.
Dan bangun dari kidung hening yang terlalu pilu.
Lalu aku eja dengan aksara - aksara purba :
tentang dirinya,
tentang indah senyumnya,
tentang lembut wajahnya,
tentang bening ke dua bola matanya...

Seribu tanya pun terungkap dalam diam ;
Siapakah dia yang serupa bidadari ?

Palung hatiku meng-alun ombak gejolak dan gelora rasa ;
Sungguh...

Ingin aku menari tarian cinta bersamanya :
Menjamahi hari - hari ; menjalin mimpi - mimpi
Seperti Rama dan Shinta memadu cinta dan menyanyikan syair - syair asmara.
Tak usah kau bertanya,
Bagaiamana gelora di jiwa ini tentang nya,
Karena tak akan mampu aku menjawabnya.....



Caringin - Bogor, 03 Mei 2010

Aku Kehilangan Siluet Tawamu

Setajam pena tua menulis syair yang telah lama bergelut di palung hati.
Aku tulis semua cerita paling pilu di baris - baris puisi.

Tak selama yang kau bayangkan aku mampu bertahan.
Sekuntum kamboja di jiwaku kian ronta menuntut aku bicara.
Lalu aku lukis pada kesahajaan kertas ini.

Apakah aku harus menyesal pada perasaanku yang seolah tabu.
Akankah terlukis segaris tanya bila kau baca resah ini.
Seluruh resah, setumpuk hasrat, hanya berharap pada cinta dan deru nafsumu.

Kering dan lesu mataku bila kurenung rona matahari yang gerhana.
Lalu lenyaplah angka – angka dan arah.
Untuk aku kembali menyulam keindahan.
Tampias di jendela.
Menyulap warta dan aksara yang memberitakan ;
Aku telah kehilangan siluet tawamu .

Lemah dan berdebu berjengkal langkah.
Meng-anak sekarat gores luka pada hitam nadiku.
Bila ku hirup sisa cinta yang tertinggal.
Masihkah ada senyum beningmu?
Untuk aku tegarkan langkah kaki menjamahi hari – hari.
Menjamahi mimpi – mimpi.
Menjamahi sapa lembutmu.
Juga menyetubuhi anggun jelita bayangmu.



Jakarta, 15 Maret 2010