Selasa, Januari 06, 2009

Jiwaku Lelah

Jiwaku lelah bersandar di dinding pahatan sejarah,
lama kupandangi kaki langit seolah menghujam kokohnya bumi 
Namun ternyata tak berujung sudah.
Seperti halnya intuisiku yang dulu begitu nyata namun sekarang menguap menjadi samar.

Kembali kulihat ke belakang  jejak – jejak yang telah terhapus hujan,  lalu kulukis ulang sketsa – sketsa mimpi di pasir pantai berbuih, sebelum jejak berikutnya terpahat ombak datang menghapus semuanya.

Sementara topan di ufuk barat memburamkan kaki langit senja ku.
Masihkah sendi – sendi ini tegar berpijak untuk melangkah, atau cukup sampai disini sampai laut datang merangkulku dalam belaiannya hingga tenggelam lenyap dan hilang. 
Hilang yang begitu mempesona.



Telaga atau Samudera

Sungguh 
Cinta mengubah 
yang pahit menjadi manis 
Debu beralih emas 
Keruh menjadi bening 
Sakit menjadi sembuh 
Penjara menjadi telaga 
Derita menjadi nikmat 
Dan kemarahan menjadi rahmat 
Cintalah yang melunakkan besi 
Menghancur-leburkan batu karang 
Membangkitkan yang mati 
Dan meniupkan kehidupan padanya 
Serta membuat budak menjadi pemimpin 

(Jalaluddin Rumi) 

 
Dalam renungan panjang dan pencarian yang tiada henti, tiba-tiba teringat kembali sesuatu yang begitu berkesan mengenai sebuah tulisan. Ada yang perlu saya bagikan pada siapa pun. Karena pada prinsipnya, kelegaan yang paling dalam adalah ketika kita mampu berbagi sesuatu yangberkesan dengan tanpa jarak kesadaran akan hakikat kebaikan. Yang barangkali, jika diterima mampu memberi manfaat, atau paling tidak, kesadaran—yang terkadang bagisebagian kita menjadi begitu menutupi—lantaran bangunan-bangunan bertembok tebal begitu kuat kita dirikan untuk mengurung dari segala sisi penemuan yang didapatkan oleh orang lain. Bisa jadi ini penting, karena, laksana sebuah pohon yang ditumbuhkan dalam ruang, dengan penjara pot bagi akar-akarnya dan di bawah atap bagi daun-daunnya, akan berbeda jauh pertumbuhannya dengan pohon yang dengan merdeka tumbuh di alam, memungkinkan dirinya dapat bersentuhan langsung dengan panas matahari, dalamnya bumi bagi akar-akarnya, dan udara bebas bagi gerai daun-daunnya.
Seperti cerita yang pernah ditulis oleh Miranda Risang Ayu:

Konon jauh dipedalaman belantara, ada sebuah telaga. Kerimbunan pohon memayungi tepinya,
kerapatan perdu menyembuyikannya kecantikannya. Beberapa ekor rusa anggun bertekuk lutut melipat
kakinya, burung-burung membuat sarang di kanan-kirinya. Beberapa pucuk daun jatuh menyapa
permukaannya, dan telaga itu beriak-riak membentuk lingkaran terus membesar sampai tepi-tepi yang
kemudian hilang. Terdengar keributan hewan-hewan di sekitarnya, tetapi sayup-sayup. Suara yang
paling nyata adalah desiran angin di atasnya, atau bunyi katak terjun menyelami kedalamannya. Atau
sama sekali lenggang, ketika angin beristirahat bersama lelapnya alam sekelilingnya.


Telaga itu begitu tenang. Cuma ada riak-riaknya. Permukaanya yang bening mampu membuat langit dan isi alam sekelilingnya dapat berkaca. Telaga itu di mana? Di buku – buku cerita peri yang sedang mengaso bersama kupu-kupu bersayap indah dan bersama kelinci-kelinci lucu? Atau berada pada legenda di ujung pelangi saat para bidadari turun mandi? Atau dalam cerita pewayangan tempat para ksatria memulai tapa brata?

Telaga itu, di mana pun, ada sungguhan atau tidak ada, sering begitu nyata dalam bangunan imajinasi manusia. Karena ketersembunyiannya, kesahajaanya, ketenangannya, tentu saja telaga paling banyak dicari bagi pengembara yang letih kehausan, yang terletak jauh di balik belantara, jauh di balik bumi, jauh di balik kedalaman jiwa.

Telaga siapakah? Jika Anda sedang lelah, telaga menjadi tempat terbaik untuk beristirahat dengan semilir anginnya. Jika Anda sedang haus, telaga sangat baik untuk direguk karena kesejukan dan higienis airnya begitu alami. Jika Anda merasa hampa, telaga adalah cermin tempat ditemukanya kembali makna-makna. Telaga sendiri adalah sunyi yang cukup bagi dirinya sendiri, ketika Anda tengah kehilangan orientasi dan sepi di tengah hiruk pikuk kesibukan.

Personifikasi telaga dapat bermacam-macam. Bisa orangtua, pasangan hidup, murabbi, kiai, ustadz, atau orang yang paling dekat di hati kita. Sebagian mereka adalah tamsil bagi telaga yang nyata. Namun, sebagian mereka ada yang menuntut agar telaga terpersonifikasi senyata-nyatanya.

Seorang rekan yang berprofesi sebagi aktivis mengenyakkan badannya di emper sebuah kampus. Senja itu hampir saja datang dengan iringan angin sepoi yang sejuk. Udara sejuk masih ada, sesejuk air telaga. Lalu aktivis itu berkata pada dirinya sendiri, “ Aku sebel dengan diriku sendiri, tetapi aku begitu lelah harus selalu menjadi telaga….”

Oh, para aktivis penyampai idealisme dan kebenaran, apa kata dunia jika kalian malas  menjadi telaga bagi sesama? Padahal, kalian diamanatkan Tuhan cita—cinta yang tulus, yang memberi tanpa pamrih, yang tidak mengambil, kecuali ala kadarnya, yang tenang dan menenangkan.

Berbagai cerita kartun sampai nilai adat-istiadat mendukung tuntunan bahwa seorang yang berjiwa besar harus memiliki dan mampu memberi telaga di tengah hutan pada siapa pun, sehingga keberadaanya jauh memberi rasa nyaman dan aman. Seorang yang berjiwa besar atau yang sedang berupaya mendapatkan kebesaran jiwa, harus terus berlatih menjadi telaga yang ketenangannya tidak terusik oleh kebisingan dan hiruk pikuk di sekelilingnya, sehingga setiap orang—bahkan dirinya sendiri—akan terus mencari. Dan sejuk dihampirinya.

Seseorang yang telah mendapatkan sentuhan kebenaran, konsekuensinya menyampaikankebenaran pada yang lain, mewarisi kebeningan hati. Ia harus mampu menyederhanakanpuluhan kalimat menjadi satu-dua kata, memeras kata-kata menjadi makna, danmembagikannya seperti membagikan segelas es teh pada siapa saja yang dahaga, tanpamemandang bangsa, suku, perbedaan ideologi, perbedaan afiliasi politik, bahkanperbedaan agama!  Ia harus selalu memberi ketenangan dan kesejukan.

Namun telaga manusia tidak berada di balik bajunya. Ketelagaan seseorang ada di balik hatinya. Dan betapa kecilnya telaga itu. Ia bisa saja kering ketika kemarau panjang datang. Atau kelebihan air ketika musim hujan datang, ia akan mengalirkannya ke lautan. Karenanya, biar saja setiap orang, lebih-lebih yang mengaku aktivis penyampai jalan kebenaran itu lelah jadi telaga. Dia jujur dan mengenali kelelahannya, itu yang penting. Dia pun tidak wajib menyodorkan segelas es teh, tetapi juga berhak mendapatkan segelas es teh. Selain itu, menjadi sebuah telaga bukan akhir dari proses untuk “menjadi”.

“Kenapa tidak menjadi samudera saja?” Barangkali itu yang akan kita tanyakan. Samudera itu luas. Kandungannya banyak. Nelayan-nelayan mencari ikan di dalamnya, orang mengebor minyak bumi di lepas pantainya, membangun kota-kota pelabuhan di tepinya, dan berlayar di atasnya. Para penemu benua baru mengalami proses kematangan mental terpenting dalam hidupnya setelah mengarungi keluasannya.
Memang, samudera tidak sejernih dan setenang telaga yang indah karena kecilnya, tetapi sering membuat orang terperangah dan kecut karena keluasannya. Jika badai terjadi di tengah samudera, kapal-kapal kecil tinggal menunggu kehancurannya. Jika badai raksasa datang menggulung, bahkan kota-kota yang ada di sekelilingnya pun bisa hilang dalam sekejap. Namun, telaga bisa kering, dan makhluk di sekitarnya pun bisa mati kehausan kelaparan.

Jika telaga ada di balik hati, samudera kemanusiaan pun tampaknya susah untuk ditunjuk oleh sebuah kalimat. Ini lantaran keluasannya dan kedalamannya. Seorang yang ikhlas menemukan samudera di ujung amal kesehariannya yang diniatkan secara tulus karena Allah SWT semata. Tetapi, seorang perindu Allah SWT  dapat juga menemukan samuderanya bersamaan dengan kehadiran seseorang yang ikhlas menerimanya. Samudera itu dapat bersama dengan hadirnya seorang sahabat perempuan atau lelaki, atau bahkan anak-anak. Karena samudera kemanusiaan amat berdimensi Ilahi. Bahkan dalam tingkat kesujudan tertentu, samudera kemanusiaan adalah Allah sendiri yang luas dan dalamnya tak terbatas.

Menyamudera adalah proses tanpa akhir, karena akhirnya adalah samudera itu sendiri. Menyamudera adalah proses yang lebih jujur dan dinamis, dan menantang daripada menjadi telaga. Karena pada saat itu manusia tidak sedang unjuk kekuatan dan segala atribut kepentingan, tetapi sedang sedang berjalan menuju-Nya. Menjadi telaga atau samudera pada dasarnya adalah pilihan bebas bagi siapa saja; atau justru dipilih kedua-duanya. Telaga dalam diri kita tidak harus kita cari dalam kedalamanspiritual. Tetapi terkadang dalam kesahajaan dan kesederhanaan yang dilandasi dengankesadaran spiritual. Untuk menjadi telaga atau samudera sama-sama harus mengubah diri kita menjadi air terlebih dahulu, menepati ruang, sesuai dengan tempatnya, transparan meskipun air tidak harus mengubah dirinya menjadi benda lain. Air telaga dan samudera adalah air yang keberadaannya berasal dari air-air mengalir yang bisa jadi memerlukan proses panjang berliku. Justru dengan proses inilah, kematangan dan kearifan hidup dapat dicapai. Proses panjang untuk menuju proses menjadi inilah yang menurut Jalaluddin Rummi sebagai proses ‘cinta’, karena segala eksistensi yang berjalan menuju-Nya adalah sebuah perjalanan kekal. Hanya dengan cintalah diri kita akan mampu berubah menjadi telaga atau samudera.

Dan pada akhirnya, bagi siapa saja yang dalam dirinya tersemai kesadaran melakukan perbaikan, baik bagi dirinya maupun orang lain, dengan apa yang selama ini kita sebut dakwah dalam dimensi sosial keagamaan, senantiasa dituntut untuk memiliki ketenangan dan semangat yang mengerakkan. Ia harus menjadi telaga atau samudera. Atau ia harus menciptakan kedua-duanya dalam kesadaran di balik dadanya.