Jumat, Juni 11, 2010

Ziarah Kamboja

Pada ziarah sunyi ke kotamu,
Delapan purnama lalu…

Terekam indah kamboja yang pernah kau tanam
: di tanah–tanah merah yang pilu.
Kau siram dengan bening tetes air mata-mu.
Dan begitu harum serasa harum rambut hitam mu
: menelusup ke batinku yang terkoyak luka.
Lalu lahirkan bocah-bocah berwajah debu
: Mereka terus berlari sambut mekarmu…

Alunan hening waktu tak seperti kita duga ;
Kau pun seonggok batang kering, kini.
Dan kau terjang sepi.
Segala menjadi musnah ;
Terbenam hamparan kenang
dan terinjak panasnya waktu.
Pertandamu hanya alunan tangis bila malam membingkai sepi.

Pada penziarahan ini,
Kutabur wangi kenanganmu pada nisan yang bisu.
Sambil lagukan kidung sunyi memanggil engkau.
: dengan rapal mantra dan do’a.
Agar merasuk dalam jiwa heningmu.

Tapi tiba-tiba,
Seorang anak kecil memungut wangi kambojamu
dan ditancapkan di depan rumahnya.

Enatahlah, untuk apa ?!
Apakah untuk mengusir tangis mu di malam-malam sepi ?
Aku tak peduli…



Jakarta, 10 Juni 2010