Jumat, November 27, 2009

Bumi Kita Makin Sekarat

Pada pahatan-pahatan batu
Kusampaikan malam ini pada tiap anak manusia
Lewat desir angin utara yang kian berat
: hingga melerai mimpi – mimpi jahil mereka
Lewat irama tembang sumbang serangga
Lewat auman harimau – harimau lapar
Lewat alunan sederet burung hantu kala menyanyi irama nestapa
: Bumi kita makin sekarat!

Gelombang ombak bertepuk tangan
Tanah- tanah retak gugurkan ribuan pohon kelapa
Kala Rama dan Shinta memadu cinta
Daun –daun kering berserakan di lembar – lembar sejarah
Tanpa pernah tahu kemana arah tujuan
Bayang – bayang musim kematian makin jelas
: Bumi kita makin sekarat!

Lingkarann-lingkaran gelombang menjalin badai
Layar-layar putih membunting angin
Lalu terdengar gemuruh topan patahkan tiang-tiang kapal
Sekaligus patahkan semangat sang Nahkoda
Segera bau anyir warna merah darah para pelaut tertumpah, tiba-tiba
Tajam gigi-gigi hiu keraskan jeritan mereka
Telah pergi,kemudian……entah kemana
: Bumi kita akan sekarat!

Sejarah telah mengukir cerita
Pada pahatan – pahatan batu cadas
Suara elang mati di pucuk-pucuk duri
Meng-akhiri puncak kelaparan mereka
Rindukan hujan pohon –pohon terpanggang
Daun layu gugur satu – satu
Auman singa dan macan tinggal kenangan
Mereka berkata dalam kebisusan
: Bumi kita makin sekarat!

Hijau rumput – rumput berganti kuning pucat
Sungai – sungai kehilangan amaanat dari sang hujan
Anak – anak menjangan menyanyi tembang- tembang duka
Kuda hitam tinggal sepasang
Danau biru yang dulu bening dan luaskini tinggal sepetak, itupun coklat
Tonggak – tonggak hijau sisakan kayunya
Tinggal burung – burung pemakan bangkai masih bisa terbahak dalam pesta
Meski sebentar lagi nasib buruk akan datang padanya
: Bumi kita makin sekarat!

Rabu, November 25, 2009

Di Persimpangan Jalan

Hati seolah tak punya jawab
Ketika kaki-kaki ini bertanya kemana lagi harus melangkah
Sedang jalan penuh simpang dan liku
Meski hati masih juga rindu lembut sapa bidadari
Namun aku seperti kehilangan tenaga untuk menggapainya
Begitu lelah aku mencari, seolah jatuh dan lumpuh

Namun aku bangkit dan tersadar
Ada bisik lembut menyapa sunyi batinku
Aku tak boleh menyerah
Dan harus terus melangkah
Meski hati belum juga menentukan kemana arah dan tujuan
Untuk lembut sapa bidadari …

Unggun Kenangan

Bening yang mendasari jiwa

Terhentak semilir angin di ujung senja yang kian malu-malu menghampiriku

Lalu…..

Aku pandang merah lembayung langit

Lembut awan putih awan menghiasinya

Perlahan,…..

Terkuak memori-memori liarku

Ter rekam jejak-jejak liku dan laku masa lalu

Meski terjatuh lalu bangkit dan tetap tegar berjalan

Oh, senja kala…..

Beberapa musim berlalu

Meninggalkan jejak tentangnya dan terukir kuat di lembar-lembar sejarah perjalananku

Tertulis indah senyum manisnya,

Bening kedua bola matanya,

Juga hitam lurus rambut di kepalanya.

Oh, senja kala….

Meski aku tahu, dia tinggal unggun kenangan

Namun tak mudah bagiku untuk melepaskan dia dari lorong hati.

Sedang sapa lembutnya masih terngiang indah di belantara jiwaku.

Selasa, Juni 23, 2009

JIWA PARA EMBUN

Kecamuk dalam bencana dendam 
Buah kebencian akibat dengki dari segumpal hati yang mati.

0h, embun…..
Tenggelamkan aku dalam heningmu
Mandikan aku dalam beningmu
Masukkan aku dalam sejukmu
Basuhlah aku dalam lembutmu

Oh, embun……
Meneteslah ke dalam panas hatiku  
Masuklah ke lorong – lorong sesat jiwaku
Jadilah hujan mengguyur kering batinku

Oh, embun…..
Masuklah ke jiwaku lewat nadi – nadiku
Gantikan panas darahku dengan sejukmu
Jadilah lautan tempat aku berenang dan bermain
: saat aku terlalu letih mengembara
Mencari arti sederet angka sebaris bait
Pada puisi – puisi yang menghias lengkung langit
Mengukir batu – batu cadas prasasti di kaki – kaki sejarah

Senin, Juni 22, 2009

SYAIR LAGUMU YANG TAK SELESAI

Ku coba menyanyikan syair – syair lagu yang kau tulis di malam kelabu itu.

Malam Sabtu, seminggu lalu.


Meski agak sulit aku nyanyikan, sebab musti memberi nada – nada 
Inilah syair terakhir yang kau tulis sebelum kau pergi bersama waktu dan beratnya angin malam musim gugur tahun ini.

Teriring bercak darah merah menghitam dan kisah – kisah yang terserak di lantai 
Dan lembar – lembar sejarah berabad –abad yang tertulis di kalender kamar ber-aroma melatimu.

Kau jemput musim kematianmu dengan pisau berlumut amarah
Oleh bayangmu sendiri yang kau sering bersengketa dengannya
Kau memilih dan menentukan jalanmu sendiri  

Kekasih, apa kabar di keheninganmu?
Masihkah kau ingin menulis syair – syair
Sedang kau kini terlalu berat untuk member jawab.

Di Kesunyian Jiwa yang Merindu

Semburat pesona mentari di ufuk timur
Lembut semilir angin utara perlahan mengiring datangnya pagi
Sang waktu mengantar hari berganti 
Dan alam pun berdzikir menyebut ke ajaiban Sang Pencipta
Sungguh pagi yang membuat jiwaku bergetar dalam damai

Di keheningan padang belantara pemikiran 
Di kesunyian sekeping jiwa yang merindu
Aku tertegun
Merenungi tapak demi tapak jalan pehuh liku seakan tak berujung …..
Alangkah indahnya , jika setiap hati terselimuti oleh kasihmu
Tapi hasrat hanyalah sebuah keinginan membuncah
Sedang realita terpasung 
Kadangkala,
Aku tak dapat membuktikan apa,
bagaimana dan siapa
Seperti keinginan sekeping jiwa yang bernyanyi sendu
Dalam hiruk pikuk dunia dan keajaiban alam raya
Aku berhening diri dalam kerangka hasrat 
Meski aku mengerti, sungguh aku mengerti
Bumi terus berputar, waktu pun terus berlalu
Dan aku harus tetap melangkah 
Tetap melangkah…


Jumat, Juni 12, 2009

Pada Engkau Semata

Ya Alloh...Ya Robbi...
Pada Engkau saja aku tempatkan segala rindu dan cinta ini
Menjelma indah di batas-batas hasrat
Meski aku tak kuasa memberinya dengan berpeluh puluh do’a dan berratus dzikir sebagai penghias
Hingga Airmata menggenang dalam dingin malam-malam pengembaraanku
Sesampai terlintas fajar di aroma ShubuhMU.

Cinta itu pulalah yang memberi aku semangat 
Untuk kuat mengibas pedang atau menarik picu senapan
Merebut dan menjaga tanah warisan para Syuhada’ tercinta
Yang dengan darah mereka bumi pun memerah basah
Dan meski aku sering kalah

Namun cinta itu pulalah yang mengobati aku kala terluka batinku
Yang sering berhenti di batas – batas nafasku 

Ya Alloh....Ya Rabbi...
Kaulah satu-satunya yang tak meninggalkan aku
Saat aku terbuai dalam kasidah – kasidah cinta yang lain
Saat aku terjebak dalam pesona – pesona lain
Saat aku terpedaya dalam keindahan – keindahan lain

Ya Alloh,...wahai Engkau yang bersemayam di atas ‘Arsyi
Hanya Engkau
Satu petunjuk pada jalan penuh simpang pengembaraanku
Satu tempat aku ingin kembali
Meng-usaikan semua langkah juga cita 
Hingga berada dalam hening dan beningMU. 


Selasa, Juni 09, 2009

Dialog di semburat fajar pagi

Sebuah kisah,

saat-saat sebaris kata mewujud menjadi dialog cinta :

ketika dua titik air mata mengembun di ujung batang kering 
di iringi alunan fajar pagi yang mulai bergema. 

mereka saling menyapa, bergemuruh : 

Aku, air mata seorang gadis yang cinta pada seorang lelaki tapi ia telah hilang”. 
“Aku, air mata seorang lelaki yang menyesal membiarkan seorang gadis mencintai saya berlalu begitu saja.”


lalu dialog sirna ditelan semburat fajar pagi yang mulai memakan gelora kata
Dan embun terbang melebur di antara awan-awan kata. 

Untuk dia.......sesuatu yang indah dimataku.

Angin….
Bawalah cintaku dalam semilir dan geloramu
Letakkan tepat saat ia rindu akan aku

Malam,....datangkan aku dalam gelisahnya

sampaikan senyum heningku kepadanya

Mimpi.....sampaikan sumpahnya pada waktu…
bahwa kasihku untuknya abadi 

Mentari….
hangatkan ia dalam bahagia
hingga ia merasa damai

Basahi juga wahai hujan
sampai dia akan memanggilku dalam kuyupnya Untuk hangatkan dari sebaris dingin yang membungkusnya
hari ini,esok dan selamanya…….

Kucari Engkau, Sang Hyang...

Mencari-Mu di langit malam,
diantara gugusan terang bintang-bintang
diantara tanda-tanda fajar akan menyingsing
diantara semburat bayang hitam.
tapi tak kutemui diri-Mu

Lalu pesona zuhur pun tiba ketika

kembali ku melihat langit dan menatapi angkuhnya matahari, makhluk-MU…

tapi sekali lagi kau tak kutemui Engkau
ya Allah..
tak pantaskah ku melihat-MU

tapi ternyata Engkau benar ya Allah,
kau tunjukkan diri-MU hanya sedikit
namun itu bisa menyadari bahwa
ku tak mampu melihat-MU..
ku terlalu sombong pada-MU
padahal melihat makhluk-MU saja kutak mampu ya Allah..
matahari terlalu terang untukku
apalagi diri-MU
semesta terlalu besar tukku jelajahi
apalagi diri-MU
ternyata aku telah menemukan cahaya-MU
dalam tiap sujudku
dalam tiap kebaikan yang ku ikhlaskan untuk-MU dalam tiap siang dan malam yan Kau biarkan bergantian mengiringiku 

Selasa, Januari 06, 2009

Jiwaku Lelah

Jiwaku lelah bersandar di dinding pahatan sejarah,
lama kupandangi kaki langit seolah menghujam kokohnya bumi 
Namun ternyata tak berujung sudah.
Seperti halnya intuisiku yang dulu begitu nyata namun sekarang menguap menjadi samar.

Kembali kulihat ke belakang  jejak – jejak yang telah terhapus hujan,  lalu kulukis ulang sketsa – sketsa mimpi di pasir pantai berbuih, sebelum jejak berikutnya terpahat ombak datang menghapus semuanya.

Sementara topan di ufuk barat memburamkan kaki langit senja ku.
Masihkah sendi – sendi ini tegar berpijak untuk melangkah, atau cukup sampai disini sampai laut datang merangkulku dalam belaiannya hingga tenggelam lenyap dan hilang. 
Hilang yang begitu mempesona.



Telaga atau Samudera

Sungguh 
Cinta mengubah 
yang pahit menjadi manis 
Debu beralih emas 
Keruh menjadi bening 
Sakit menjadi sembuh 
Penjara menjadi telaga 
Derita menjadi nikmat 
Dan kemarahan menjadi rahmat 
Cintalah yang melunakkan besi 
Menghancur-leburkan batu karang 
Membangkitkan yang mati 
Dan meniupkan kehidupan padanya 
Serta membuat budak menjadi pemimpin 

(Jalaluddin Rumi) 

 
Dalam renungan panjang dan pencarian yang tiada henti, tiba-tiba teringat kembali sesuatu yang begitu berkesan mengenai sebuah tulisan. Ada yang perlu saya bagikan pada siapa pun. Karena pada prinsipnya, kelegaan yang paling dalam adalah ketika kita mampu berbagi sesuatu yangberkesan dengan tanpa jarak kesadaran akan hakikat kebaikan. Yang barangkali, jika diterima mampu memberi manfaat, atau paling tidak, kesadaran—yang terkadang bagisebagian kita menjadi begitu menutupi—lantaran bangunan-bangunan bertembok tebal begitu kuat kita dirikan untuk mengurung dari segala sisi penemuan yang didapatkan oleh orang lain. Bisa jadi ini penting, karena, laksana sebuah pohon yang ditumbuhkan dalam ruang, dengan penjara pot bagi akar-akarnya dan di bawah atap bagi daun-daunnya, akan berbeda jauh pertumbuhannya dengan pohon yang dengan merdeka tumbuh di alam, memungkinkan dirinya dapat bersentuhan langsung dengan panas matahari, dalamnya bumi bagi akar-akarnya, dan udara bebas bagi gerai daun-daunnya.
Seperti cerita yang pernah ditulis oleh Miranda Risang Ayu:

Konon jauh dipedalaman belantara, ada sebuah telaga. Kerimbunan pohon memayungi tepinya,
kerapatan perdu menyembuyikannya kecantikannya. Beberapa ekor rusa anggun bertekuk lutut melipat
kakinya, burung-burung membuat sarang di kanan-kirinya. Beberapa pucuk daun jatuh menyapa
permukaannya, dan telaga itu beriak-riak membentuk lingkaran terus membesar sampai tepi-tepi yang
kemudian hilang. Terdengar keributan hewan-hewan di sekitarnya, tetapi sayup-sayup. Suara yang
paling nyata adalah desiran angin di atasnya, atau bunyi katak terjun menyelami kedalamannya. Atau
sama sekali lenggang, ketika angin beristirahat bersama lelapnya alam sekelilingnya.


Telaga itu begitu tenang. Cuma ada riak-riaknya. Permukaanya yang bening mampu membuat langit dan isi alam sekelilingnya dapat berkaca. Telaga itu di mana? Di buku – buku cerita peri yang sedang mengaso bersama kupu-kupu bersayap indah dan bersama kelinci-kelinci lucu? Atau berada pada legenda di ujung pelangi saat para bidadari turun mandi? Atau dalam cerita pewayangan tempat para ksatria memulai tapa brata?

Telaga itu, di mana pun, ada sungguhan atau tidak ada, sering begitu nyata dalam bangunan imajinasi manusia. Karena ketersembunyiannya, kesahajaanya, ketenangannya, tentu saja telaga paling banyak dicari bagi pengembara yang letih kehausan, yang terletak jauh di balik belantara, jauh di balik bumi, jauh di balik kedalaman jiwa.

Telaga siapakah? Jika Anda sedang lelah, telaga menjadi tempat terbaik untuk beristirahat dengan semilir anginnya. Jika Anda sedang haus, telaga sangat baik untuk direguk karena kesejukan dan higienis airnya begitu alami. Jika Anda merasa hampa, telaga adalah cermin tempat ditemukanya kembali makna-makna. Telaga sendiri adalah sunyi yang cukup bagi dirinya sendiri, ketika Anda tengah kehilangan orientasi dan sepi di tengah hiruk pikuk kesibukan.

Personifikasi telaga dapat bermacam-macam. Bisa orangtua, pasangan hidup, murabbi, kiai, ustadz, atau orang yang paling dekat di hati kita. Sebagian mereka adalah tamsil bagi telaga yang nyata. Namun, sebagian mereka ada yang menuntut agar telaga terpersonifikasi senyata-nyatanya.

Seorang rekan yang berprofesi sebagi aktivis mengenyakkan badannya di emper sebuah kampus. Senja itu hampir saja datang dengan iringan angin sepoi yang sejuk. Udara sejuk masih ada, sesejuk air telaga. Lalu aktivis itu berkata pada dirinya sendiri, “ Aku sebel dengan diriku sendiri, tetapi aku begitu lelah harus selalu menjadi telaga….”

Oh, para aktivis penyampai idealisme dan kebenaran, apa kata dunia jika kalian malas  menjadi telaga bagi sesama? Padahal, kalian diamanatkan Tuhan cita—cinta yang tulus, yang memberi tanpa pamrih, yang tidak mengambil, kecuali ala kadarnya, yang tenang dan menenangkan.

Berbagai cerita kartun sampai nilai adat-istiadat mendukung tuntunan bahwa seorang yang berjiwa besar harus memiliki dan mampu memberi telaga di tengah hutan pada siapa pun, sehingga keberadaanya jauh memberi rasa nyaman dan aman. Seorang yang berjiwa besar atau yang sedang berupaya mendapatkan kebesaran jiwa, harus terus berlatih menjadi telaga yang ketenangannya tidak terusik oleh kebisingan dan hiruk pikuk di sekelilingnya, sehingga setiap orang—bahkan dirinya sendiri—akan terus mencari. Dan sejuk dihampirinya.

Seseorang yang telah mendapatkan sentuhan kebenaran, konsekuensinya menyampaikankebenaran pada yang lain, mewarisi kebeningan hati. Ia harus mampu menyederhanakanpuluhan kalimat menjadi satu-dua kata, memeras kata-kata menjadi makna, danmembagikannya seperti membagikan segelas es teh pada siapa saja yang dahaga, tanpamemandang bangsa, suku, perbedaan ideologi, perbedaan afiliasi politik, bahkanperbedaan agama!  Ia harus selalu memberi ketenangan dan kesejukan.

Namun telaga manusia tidak berada di balik bajunya. Ketelagaan seseorang ada di balik hatinya. Dan betapa kecilnya telaga itu. Ia bisa saja kering ketika kemarau panjang datang. Atau kelebihan air ketika musim hujan datang, ia akan mengalirkannya ke lautan. Karenanya, biar saja setiap orang, lebih-lebih yang mengaku aktivis penyampai jalan kebenaran itu lelah jadi telaga. Dia jujur dan mengenali kelelahannya, itu yang penting. Dia pun tidak wajib menyodorkan segelas es teh, tetapi juga berhak mendapatkan segelas es teh. Selain itu, menjadi sebuah telaga bukan akhir dari proses untuk “menjadi”.

“Kenapa tidak menjadi samudera saja?” Barangkali itu yang akan kita tanyakan. Samudera itu luas. Kandungannya banyak. Nelayan-nelayan mencari ikan di dalamnya, orang mengebor minyak bumi di lepas pantainya, membangun kota-kota pelabuhan di tepinya, dan berlayar di atasnya. Para penemu benua baru mengalami proses kematangan mental terpenting dalam hidupnya setelah mengarungi keluasannya.
Memang, samudera tidak sejernih dan setenang telaga yang indah karena kecilnya, tetapi sering membuat orang terperangah dan kecut karena keluasannya. Jika badai terjadi di tengah samudera, kapal-kapal kecil tinggal menunggu kehancurannya. Jika badai raksasa datang menggulung, bahkan kota-kota yang ada di sekelilingnya pun bisa hilang dalam sekejap. Namun, telaga bisa kering, dan makhluk di sekitarnya pun bisa mati kehausan kelaparan.

Jika telaga ada di balik hati, samudera kemanusiaan pun tampaknya susah untuk ditunjuk oleh sebuah kalimat. Ini lantaran keluasannya dan kedalamannya. Seorang yang ikhlas menemukan samudera di ujung amal kesehariannya yang diniatkan secara tulus karena Allah SWT semata. Tetapi, seorang perindu Allah SWT  dapat juga menemukan samuderanya bersamaan dengan kehadiran seseorang yang ikhlas menerimanya. Samudera itu dapat bersama dengan hadirnya seorang sahabat perempuan atau lelaki, atau bahkan anak-anak. Karena samudera kemanusiaan amat berdimensi Ilahi. Bahkan dalam tingkat kesujudan tertentu, samudera kemanusiaan adalah Allah sendiri yang luas dan dalamnya tak terbatas.

Menyamudera adalah proses tanpa akhir, karena akhirnya adalah samudera itu sendiri. Menyamudera adalah proses yang lebih jujur dan dinamis, dan menantang daripada menjadi telaga. Karena pada saat itu manusia tidak sedang unjuk kekuatan dan segala atribut kepentingan, tetapi sedang sedang berjalan menuju-Nya. Menjadi telaga atau samudera pada dasarnya adalah pilihan bebas bagi siapa saja; atau justru dipilih kedua-duanya. Telaga dalam diri kita tidak harus kita cari dalam kedalamanspiritual. Tetapi terkadang dalam kesahajaan dan kesederhanaan yang dilandasi dengankesadaran spiritual. Untuk menjadi telaga atau samudera sama-sama harus mengubah diri kita menjadi air terlebih dahulu, menepati ruang, sesuai dengan tempatnya, transparan meskipun air tidak harus mengubah dirinya menjadi benda lain. Air telaga dan samudera adalah air yang keberadaannya berasal dari air-air mengalir yang bisa jadi memerlukan proses panjang berliku. Justru dengan proses inilah, kematangan dan kearifan hidup dapat dicapai. Proses panjang untuk menuju proses menjadi inilah yang menurut Jalaluddin Rummi sebagai proses ‘cinta’, karena segala eksistensi yang berjalan menuju-Nya adalah sebuah perjalanan kekal. Hanya dengan cintalah diri kita akan mampu berubah menjadi telaga atau samudera.

Dan pada akhirnya, bagi siapa saja yang dalam dirinya tersemai kesadaran melakukan perbaikan, baik bagi dirinya maupun orang lain, dengan apa yang selama ini kita sebut dakwah dalam dimensi sosial keagamaan, senantiasa dituntut untuk memiliki ketenangan dan semangat yang mengerakkan. Ia harus menjadi telaga atau samudera. Atau ia harus menciptakan kedua-duanya dalam kesadaran di balik dadanya.


Senin, Januari 05, 2009

Setengah Jiwa

Roman tentang matahari tujuh warna
yang muncul dalam lembar sejarah
Ketika cahaya sang mentari bergelora 
Dan membias di titik – titik air hujan di luasnya angkasa  

Berawal dari hati yang sepi
karena jiwanya terbelah setengah, 
sementara setengah yang lain terdampar entah kemana

Jarak menjadi tirai penutup
namun waktu membuka jalan untuk ditempuh
Bagian yang satu mencari sebagian dirinya yang lain
di antara ruh yang setengah hidup
dan setengah mati
Mencari serupa dari alur dan jalur
yang dipahatkan pada batu – batu cadas perjalanan 
Sama sama merah oleh gairah
Sama-sama biru oleh rindu

Jiwa yang terbelah
Bagian satu terpisah dengan bagian yang lain
Hanya satu petunjuk yang ditinggalkan surga
Sebuah tanda rasa yang menggetar
saat belahan yang satu
berada di radius belahan yang lain
bukan hanya dalam jarak,
namun juga kata

Ketika bertemu akhirnya,
maka matahari menjadi tujuh warna
dalam pita-pita