Selasa, Juni 15, 2010

GORESAN LUKA PADA GERIMIS SENJA

Kubaca lagi gerimis hujan yang turun di ujung senja ini.
Begitu ricik membasahi dedaun kelor pada tengadah mata lembabku.
Seperti memaknakan lagi bait-bait sajak yang kau tulis dengan warna pekat darahmu, semalam…

Dalam lengkung cakrawala yang paling usang.
Terbentuk segaris fatamorgana sunyi.
Lalu terdengar suaramu yang paling senyap.
Nuansa yang menyimpan gelora nafas-nafas kita.
Lalu menelusup kerinduan tertulis di kalender-kalender sejarah.
Sederet rindu pada segaris luka pada sebuah masa kanak-kanak
: Membaca alam semesta sekaligus merumuskan cita-cita...

Seanggun jingga cahaya purnama.
Sesejuk gema adzan Maghrib.
Sedang semilir angin senja begitu sendu mengalun.
Semburat senja yang menyambut hening malam, saat ini.
Menghembus kebisuan demi kebisuan.
Menghembus memori–memori luka yang ku tulis dengan aksara - aksara paling purba.
Menghembus beban – beban cinta yang terkoyak dan luka.

Sungguh, telah kau bawa hatimu pergi.
Dari tepian alam batinku.
Kau usaikan cerita rindu dengan begitu pilu.
Mengundang sepi di beranda hati.
Hanya lara yang tertinggal di sini.
Kidung – kidung paling pilu mengalun begitu sendu di ujung luka.
Semua telah usai kau bisikkan cinta yang semu….

Ruang rindu yang terbelah menjelma parade nyanyian sumbang pada sebuah musim bunga yang hampir layu.
Lalu hilanglah puncak dan arah.
Untuk ku kembali menyulam keindahan.
Tampias di jendela, seolah mewartakan
: Aku kehilanganmu

Aku patah.
Aku alunan tetes – tetes airmata lara.
Aku luka.
Dan aku terjang irama – irama sepi…

O, dengan bahasa yang mana lagi aku harus tuliskan kisah - kisah kita ?
O, dengan irama yang mana lagi aku nyanyikan kidung – kidung pilu ini ?
O, dengan syair yang mana lagi aku puisikan serpih – serpih hati ini ?

Aku patah dan luka dalam gerimis senja……


Jakarta, 15 Juni 2010

Jumat, Juni 11, 2010

Ziarah Kamboja

Pada ziarah sunyi ke kotamu,
Delapan purnama lalu…

Terekam indah kamboja yang pernah kau tanam
: di tanah–tanah merah yang pilu.
Kau siram dengan bening tetes air mata-mu.
Dan begitu harum serasa harum rambut hitam mu
: menelusup ke batinku yang terkoyak luka.
Lalu lahirkan bocah-bocah berwajah debu
: Mereka terus berlari sambut mekarmu…

Alunan hening waktu tak seperti kita duga ;
Kau pun seonggok batang kering, kini.
Dan kau terjang sepi.
Segala menjadi musnah ;
Terbenam hamparan kenang
dan terinjak panasnya waktu.
Pertandamu hanya alunan tangis bila malam membingkai sepi.

Pada penziarahan ini,
Kutabur wangi kenanganmu pada nisan yang bisu.
Sambil lagukan kidung sunyi memanggil engkau.
: dengan rapal mantra dan do’a.
Agar merasuk dalam jiwa heningmu.

Tapi tiba-tiba,
Seorang anak kecil memungut wangi kambojamu
dan ditancapkan di depan rumahnya.

Enatahlah, untuk apa ?!
Apakah untuk mengusir tangis mu di malam-malam sepi ?
Aku tak peduli…



Jakarta, 10 Juni 2010