Sabtu, Oktober 29, 2011

Aku terdampar di bibir pantaimu, Kinanti !

Aku terdampar di bibir pantaimu, Kinanti.
Lalu berguru pada semilir angin malam,
semburat cahaya rembulan dan kerlip bintang.
Dan lamat – lamat gedebur ombak
Setia menemani aku.

Aku luruh,
Terpaku diam dalam hening malam.
Hening namun bicara,
Hening namun gelora.

Aku terdampar di bibir pantaimu, Kinanti
Dan entah unggun kenangan mana yang telah membangkitkan mimpi-mimpi itu datang lagi.
Mimpi-mimpi tentangmu
Tentang lembut sapamu saat memanggilku
Tentang bening kedua bola matamu
Tentang gerai panjang rambut hitam mu
Juga tentang tarian genit semilir angin senja di halaman rumahmu

Aku terdampar di bibir pantaimu, Kinanti.
Dab biarlah mulai malam ini
Aku akan habiskan malam-malamku
menjadi malam - malam rahasia
: Menyusun siasat, taktik bahkan intrik
Untuk menaklukkan hatimu, Kinanti…..

Jumat, Januari 21, 2011

Nyanyian Gerimis di Taman Suropati

Silau mentari di ujung cakrawala
Menari genit bersama semilir angin musim dingin
Menyusup pada temaram warna senja
Hingga memupus ramalan cuaca hari ini
: menjadi senandung bait-bait nyanyian gerimis

Dan…
Sorang lelaki duduk termenung tanpa teman
Di balik angkuh jendela dia menikmati siluet senja sore ini
Lalu aroma sedap secangkir kopi mendamaikan batinnya , sesaat.
Dan tak mampu mengusir gelisah di jiwanya.
Terbelenggu !
Terpenjara bayang – bayang jiwa yang gelap dan angker.

Tiba-tiba…
Cahaya di ujung matanya jatuh di Suropati,
: sebuah taman di kota tua ini.

Di taman ini…
Beberapa musim lalu, dia dan sang kekasih.
Saat senja bersenandungkan bait-bait nyanyian gerimis.
Mereka ucapkan janji setia
: janji yang begitu polos untuk di kenang
Bersama bunga-bunga taman yang tiba-tiba layu
dan ranting kamboja yang seolah mati
Sebuah pertanda !
Dan dia sungguh mengerti ada tanda di balik pertanda.

Dan kini….
Janji setia itu tinggal sebuah memori yang begitu getir untuk dia kenang.
Entah, dengan bahasa mana lagi dia ulangkan seluruh kejadian di taman itu.

Kekasihnya pergi,
Untuk sebuah alasan yang sampai kini dia pun tak mengerti.
Dan meninggalkan gores luka di hatinya.
Juga memori-memori kelabu.

Jiwa yang gelap dan angker membelenggu jiwanya
Pada senja ini bersama senandung bait – bait nyanyian gerimis.

Jakarta, 21 Januari 2011

Selasa, Juni 15, 2010

GORESAN LUKA PADA GERIMIS SENJA

Kubaca lagi gerimis hujan yang turun di ujung senja ini.
Begitu ricik membasahi dedaun kelor pada tengadah mata lembabku.
Seperti memaknakan lagi bait-bait sajak yang kau tulis dengan warna pekat darahmu, semalam…

Dalam lengkung cakrawala yang paling usang.
Terbentuk segaris fatamorgana sunyi.
Lalu terdengar suaramu yang paling senyap.
Nuansa yang menyimpan gelora nafas-nafas kita.
Lalu menelusup kerinduan tertulis di kalender-kalender sejarah.
Sederet rindu pada segaris luka pada sebuah masa kanak-kanak
: Membaca alam semesta sekaligus merumuskan cita-cita...

Seanggun jingga cahaya purnama.
Sesejuk gema adzan Maghrib.
Sedang semilir angin senja begitu sendu mengalun.
Semburat senja yang menyambut hening malam, saat ini.
Menghembus kebisuan demi kebisuan.
Menghembus memori–memori luka yang ku tulis dengan aksara - aksara paling purba.
Menghembus beban – beban cinta yang terkoyak dan luka.

Sungguh, telah kau bawa hatimu pergi.
Dari tepian alam batinku.
Kau usaikan cerita rindu dengan begitu pilu.
Mengundang sepi di beranda hati.
Hanya lara yang tertinggal di sini.
Kidung – kidung paling pilu mengalun begitu sendu di ujung luka.
Semua telah usai kau bisikkan cinta yang semu….

Ruang rindu yang terbelah menjelma parade nyanyian sumbang pada sebuah musim bunga yang hampir layu.
Lalu hilanglah puncak dan arah.
Untuk ku kembali menyulam keindahan.
Tampias di jendela, seolah mewartakan
: Aku kehilanganmu

Aku patah.
Aku alunan tetes – tetes airmata lara.
Aku luka.
Dan aku terjang irama – irama sepi…

O, dengan bahasa yang mana lagi aku harus tuliskan kisah - kisah kita ?
O, dengan irama yang mana lagi aku nyanyikan kidung – kidung pilu ini ?
O, dengan syair yang mana lagi aku puisikan serpih – serpih hati ini ?

Aku patah dan luka dalam gerimis senja……


Jakarta, 15 Juni 2010

Jumat, Juni 11, 2010

Ziarah Kamboja

Pada ziarah sunyi ke kotamu,
Delapan purnama lalu…

Terekam indah kamboja yang pernah kau tanam
: di tanah–tanah merah yang pilu.
Kau siram dengan bening tetes air mata-mu.
Dan begitu harum serasa harum rambut hitam mu
: menelusup ke batinku yang terkoyak luka.
Lalu lahirkan bocah-bocah berwajah debu
: Mereka terus berlari sambut mekarmu…

Alunan hening waktu tak seperti kita duga ;
Kau pun seonggok batang kering, kini.
Dan kau terjang sepi.
Segala menjadi musnah ;
Terbenam hamparan kenang
dan terinjak panasnya waktu.
Pertandamu hanya alunan tangis bila malam membingkai sepi.

Pada penziarahan ini,
Kutabur wangi kenanganmu pada nisan yang bisu.
Sambil lagukan kidung sunyi memanggil engkau.
: dengan rapal mantra dan do’a.
Agar merasuk dalam jiwa heningmu.

Tapi tiba-tiba,
Seorang anak kecil memungut wangi kambojamu
dan ditancapkan di depan rumahnya.

Enatahlah, untuk apa ?!
Apakah untuk mengusir tangis mu di malam-malam sepi ?
Aku tak peduli…



Jakarta, 10 Juni 2010

Jumat, Mei 14, 2010

Nasehat Bapak Di Tengah Malam Bulan ke-9

Jangan kau cari maya, Anakku…
Sesungguhnya hakekat maya adalah tiada
Rengkuhlah yang nyata
: Karena yang nyata adalah ada
: Ada yang sejati dan bukan ada tang di ada – adakan.

Anakku,…
Dalam alam maya
Yang ada kadang terlihat tiada
Yang tiada kadang tampak ada

Janganlah samar,
Samar terhadap gelap dalam terang
Samar terhadap terang dalam gelap

O, samar…
Samarkan hatimu, samarkan batinmu
Hanya dengan hati yang samar, batin yang samar
Kau kuasa melihat gelap dalam terang
Kau mampu menjangkau terang dalam gelap

O, samar…
Sesamar temaram cahaya Maghrib
Sesamar semburat cahaya Shubuh
Tidak terang, tidak pula gelap

O, samar…
Samar yang membatasi maya dan nyata…




Jogja, Mei 2002

Hujan Di Ufuk Pagi Di Sebuah Dusun

Gemercik rintik hujan di ufuk pagi
Tak ku sangka.
Shubuh – shubuh begini ?
Sedang perkiraan cuaca mengatakan :
“Yogyakarta Cerah, 24 – 30 deajat Celcius”
Begitu tulisan di TV semalam.
Ahh, ternyata…

Masih teramat pagi, hari ini
Dingin pun menusuk - nusuk tulangku
Butir – butir hujan jatuh satu - satu

Jauh ke depan ke batas lengkung cakrawala
Ku tatap dengan kedua bola mata liar ku
Jejalan hitam kian basah
Tak seperti biasa, udara menggelar aroma – aroma sepi
Sesepi aku menembus batas – batas keheningan
Dedaun dan ranting kelor menyalami aku dengan salam ungu.
Salam yang tegas menampar kesadaranku

Dimana perempuan setengah baya yang tiap hari jalan kaki di jalan itu ?

O, itu dia…
: Berpayung plastik putih sedikit kumal.
Di punggungnya ada tenggok yang begitu berat dia bawa dengan selendang hitam
Seberat dia melakoni kemiskinan dan kesahajaannya
Meski dia tetap tegar dan berusaha untuk terus melangkah

Hujan rintik di ufuk pagi di sebuah dusun
Masih di bilangan Gamping, sebuah kecamatan di Jogja

Tak akan pernah hilang dari ingatanku, pagi itu.




Jogja, April 2002

Setetes Darah Sesesak Nafas di Kurusetra

Tercekam dalam dalam kesunyian diam, jiwa terhempasku
Di sini,
Di Kurusetra !
Pada bau anyir gundukan – gundukan tanah, masih begitu anyir
Bunga – bunga merah kamboja turut terluka, makin merah
Semerah darah tertumpah dari para pemberontak penguasa negeri
Setetes darah, sesesak nafas,

Hati menjelma dendam,
Tangan begitu kuat terkepal.
Mengepal, kumpulkan segala derita
Dendam mereka adalah muara segala penindasan

Para pemberontak melepaskan sumpahnya yang tertanam diubun – ubun
Seperti akar – akar kaktus di hamparan gurun
Mereka menunaikan tugasnya :
Memberontak pada penguasa negeri
Memberontak atas kekejaman yang melilit mereka
Memberontak atas pembunuhan – pembunuhan terhadap anak – istri mereka

Panji – panji lusuh mereka roboh, terinjak, tekoyak dan luka
Jatuh,…bersama tubuh – tubuh miskin meeka
Tanpa satu pun tersisa sekedar untuk menghirup sumpeknya udara negeri

Sebasah tanah oleh merah darah, seamis gelanggang.

Ini adalah gelanggang padang Kurusetra dengan lakon dan ending berbeda dari Bharatayuda,
Meski pengkhianatan, penderitaaan, ketamakan, penindasan dan pembuangan masih jadi tema besarnya.

Oo, Kurusetra,…
Padang ilalang duka – derita,
Di atasmu penuh kisah tragedi !
Darah, nahah, bangkai dan air mata telah menyuburkanmu
Meski pohon yang tumbuh di atasmu, tak pernah berbuah…




Jogja, Maret 2003

Pada Sebuah Malam di KINASIH

Untuk sebuah nama...
Dia duduk termenung di keharuman musim - musim bunga.
Lalu tiba - tiba terlintas pada sebuah kesunyian perjalanan waktuku.

Hadirkan pesonanya; begitu indah - begitu merdu.
Aku tersentak ;
Sadari lamunan.
Dan bangun dari kidung hening yang terlalu pilu.
Lalu aku eja dengan aksara - aksara purba :
tentang dirinya,
tentang indah senyumnya,
tentang lembut wajahnya,
tentang bening ke dua bola matanya...

Seribu tanya pun terungkap dalam diam ;
Siapakah dia yang serupa bidadari ?

Palung hatiku meng-alun ombak gejolak dan gelora rasa ;
Sungguh...

Ingin aku menari tarian cinta bersamanya :
Menjamahi hari - hari ; menjalin mimpi - mimpi
Seperti Rama dan Shinta memadu cinta dan menyanyikan syair - syair asmara.
Tak usah kau bertanya,
Bagaiamana gelora di jiwa ini tentang nya,
Karena tak akan mampu aku menjawabnya.....



Caringin - Bogor, 03 Mei 2010