Jumat, Mei 14, 2010

Nasehat Bapak Di Tengah Malam Bulan ke-9

Jangan kau cari maya, Anakku…
Sesungguhnya hakekat maya adalah tiada
Rengkuhlah yang nyata
: Karena yang nyata adalah ada
: Ada yang sejati dan bukan ada tang di ada – adakan.

Anakku,…
Dalam alam maya
Yang ada kadang terlihat tiada
Yang tiada kadang tampak ada

Janganlah samar,
Samar terhadap gelap dalam terang
Samar terhadap terang dalam gelap

O, samar…
Samarkan hatimu, samarkan batinmu
Hanya dengan hati yang samar, batin yang samar
Kau kuasa melihat gelap dalam terang
Kau mampu menjangkau terang dalam gelap

O, samar…
Sesamar temaram cahaya Maghrib
Sesamar semburat cahaya Shubuh
Tidak terang, tidak pula gelap

O, samar…
Samar yang membatasi maya dan nyata…




Jogja, Mei 2002

Hujan Di Ufuk Pagi Di Sebuah Dusun

Gemercik rintik hujan di ufuk pagi
Tak ku sangka.
Shubuh – shubuh begini ?
Sedang perkiraan cuaca mengatakan :
“Yogyakarta Cerah, 24 – 30 deajat Celcius”
Begitu tulisan di TV semalam.
Ahh, ternyata…

Masih teramat pagi, hari ini
Dingin pun menusuk - nusuk tulangku
Butir – butir hujan jatuh satu - satu

Jauh ke depan ke batas lengkung cakrawala
Ku tatap dengan kedua bola mata liar ku
Jejalan hitam kian basah
Tak seperti biasa, udara menggelar aroma – aroma sepi
Sesepi aku menembus batas – batas keheningan
Dedaun dan ranting kelor menyalami aku dengan salam ungu.
Salam yang tegas menampar kesadaranku

Dimana perempuan setengah baya yang tiap hari jalan kaki di jalan itu ?

O, itu dia…
: Berpayung plastik putih sedikit kumal.
Di punggungnya ada tenggok yang begitu berat dia bawa dengan selendang hitam
Seberat dia melakoni kemiskinan dan kesahajaannya
Meski dia tetap tegar dan berusaha untuk terus melangkah

Hujan rintik di ufuk pagi di sebuah dusun
Masih di bilangan Gamping, sebuah kecamatan di Jogja

Tak akan pernah hilang dari ingatanku, pagi itu.




Jogja, April 2002

Setetes Darah Sesesak Nafas di Kurusetra

Tercekam dalam dalam kesunyian diam, jiwa terhempasku
Di sini,
Di Kurusetra !
Pada bau anyir gundukan – gundukan tanah, masih begitu anyir
Bunga – bunga merah kamboja turut terluka, makin merah
Semerah darah tertumpah dari para pemberontak penguasa negeri
Setetes darah, sesesak nafas,

Hati menjelma dendam,
Tangan begitu kuat terkepal.
Mengepal, kumpulkan segala derita
Dendam mereka adalah muara segala penindasan

Para pemberontak melepaskan sumpahnya yang tertanam diubun – ubun
Seperti akar – akar kaktus di hamparan gurun
Mereka menunaikan tugasnya :
Memberontak pada penguasa negeri
Memberontak atas kekejaman yang melilit mereka
Memberontak atas pembunuhan – pembunuhan terhadap anak – istri mereka

Panji – panji lusuh mereka roboh, terinjak, tekoyak dan luka
Jatuh,…bersama tubuh – tubuh miskin meeka
Tanpa satu pun tersisa sekedar untuk menghirup sumpeknya udara negeri

Sebasah tanah oleh merah darah, seamis gelanggang.

Ini adalah gelanggang padang Kurusetra dengan lakon dan ending berbeda dari Bharatayuda,
Meski pengkhianatan, penderitaaan, ketamakan, penindasan dan pembuangan masih jadi tema besarnya.

Oo, Kurusetra,…
Padang ilalang duka – derita,
Di atasmu penuh kisah tragedi !
Darah, nahah, bangkai dan air mata telah menyuburkanmu
Meski pohon yang tumbuh di atasmu, tak pernah berbuah…




Jogja, Maret 2003

Pada Sebuah Malam di KINASIH

Untuk sebuah nama...
Dia duduk termenung di keharuman musim - musim bunga.
Lalu tiba - tiba terlintas pada sebuah kesunyian perjalanan waktuku.

Hadirkan pesonanya; begitu indah - begitu merdu.
Aku tersentak ;
Sadari lamunan.
Dan bangun dari kidung hening yang terlalu pilu.
Lalu aku eja dengan aksara - aksara purba :
tentang dirinya,
tentang indah senyumnya,
tentang lembut wajahnya,
tentang bening ke dua bola matanya...

Seribu tanya pun terungkap dalam diam ;
Siapakah dia yang serupa bidadari ?

Palung hatiku meng-alun ombak gejolak dan gelora rasa ;
Sungguh...

Ingin aku menari tarian cinta bersamanya :
Menjamahi hari - hari ; menjalin mimpi - mimpi
Seperti Rama dan Shinta memadu cinta dan menyanyikan syair - syair asmara.
Tak usah kau bertanya,
Bagaiamana gelora di jiwa ini tentang nya,
Karena tak akan mampu aku menjawabnya.....



Caringin - Bogor, 03 Mei 2010

Aku Kehilangan Siluet Tawamu

Setajam pena tua menulis syair yang telah lama bergelut di palung hati.
Aku tulis semua cerita paling pilu di baris - baris puisi.

Tak selama yang kau bayangkan aku mampu bertahan.
Sekuntum kamboja di jiwaku kian ronta menuntut aku bicara.
Lalu aku lukis pada kesahajaan kertas ini.

Apakah aku harus menyesal pada perasaanku yang seolah tabu.
Akankah terlukis segaris tanya bila kau baca resah ini.
Seluruh resah, setumpuk hasrat, hanya berharap pada cinta dan deru nafsumu.

Kering dan lesu mataku bila kurenung rona matahari yang gerhana.
Lalu lenyaplah angka – angka dan arah.
Untuk aku kembali menyulam keindahan.
Tampias di jendela.
Menyulap warta dan aksara yang memberitakan ;
Aku telah kehilangan siluet tawamu .

Lemah dan berdebu berjengkal langkah.
Meng-anak sekarat gores luka pada hitam nadiku.
Bila ku hirup sisa cinta yang tertinggal.
Masihkah ada senyum beningmu?
Untuk aku tegarkan langkah kaki menjamahi hari – hari.
Menjamahi mimpi – mimpi.
Menjamahi sapa lembutmu.
Juga menyetubuhi anggun jelita bayangmu.



Jakarta, 15 Maret 2010

Kamis, Mei 13, 2010

Di Kesunyian Jiwa yang Merindu

Semburat pesona mentari di ufuk timur
Lembut semilir angin utara perlahan mengiring datangnya pagi
Sang waktu mengantar hari berganti
Dan alam pun berdzikir menyebut ke ajaiban Sang Pencipta
Sungguh pagi yang membuat jiwaku bergetar dalam damai

Di keheningan padang belantara pemikiran
Di kesunyian sekeping jiwa yang merindu
Aku tertegun
Merenungi tapak demi tapak jalan pehuh liku seakan tak berujung …..
Alangkah indahnya , jika setiap hati terselimuti oleh kasihmu
Tapi hasrat hanyalah sebuah keinginan membuncah
Sedang realita terpasung
Kadangkala,
Aku tak dapat membuktikan apa,
bagaimana dan siapa
Seperti keinginan sekeping jiwa yang bernyanyi sendu
Dalam hiruk pikuk dunia dan keajaiban alam raya
Aku berhening diri dalam kerangka hasrat
Meski aku mengerti, sungguh aku mengerti
Bumi terus berputar, waktu pun terus berlalu
Dan aku harus tetap melangkah
Tetap melangkah…


Jakarta, 13 Mei 2010

SETYOWATI DAN BULAN FAJAR MERAH

Kabut api meski sejuk pagi buta ini. Berdetak bersama menyatu dengan ke-emasan cahaya bulan sisa-sisa semalam.
Sesak. Teramat sesak! Wajah pucatmu tak mampu sembunyikan nada gelisahmu.

Bulan fajar merah………………….. Cahaya emasmu bersatu dengan kabut api pagi menemani sosok gadis belasan tahun, Setyowati.

Duhai Setyowati…! Tubuhmu mulai kurus……… mengecil, seiring mengecil langkah-langkahmu menyusuri lorong – lorong hidup yang kian kabur. Berat dan kian berat! Beban yang engkau pikul meski pundakmu bukan pundak yang harus memikul beban di depan matamu, juga di sisi – sisi tanganmu.

Setyowati….! Rambut panjang lurusmu, kemana kini kilau hitamnya? Dan telah engkau buang kemana binar cerah di kedua bola matamu? Yang dengannya engkau melihat ikan – ikan emas di kolam hijau berbunga teratai ungu. Serta, yang dengannya engkau hiasi senyum - senyum indahmu.

Setyowati….! Siapa yang mengganti rona merah padang mbulan kedua pipimu dengan warna – warni pucat pasi dan titik – titik duka air mata? Kecewa, duka nestapa, kesunyian diam beratus rasa menyatu di dirimu kini, Setyowati.

Bulan fajar merah, Sinar emasmu menyatu dengan kabut api pagi ini. Sampai kapan kuatmu menemani gadis milik para burung, para bunga, juga taman – taman ini? Hingga duka dan tangisan ratusan wanita di dusun – dusun, di kota – kota, di kebun – kebun anggur pun tak mampu menandingi duka nestapanya.

Duhai Setyowati, Air matamu jatuh satu – satu, membasahi gaun putihmu, juga kaki – kaki kecilmu. Siapa yang telah tega menukar cinta suci dan setia-mu dengan busuknya dunia?




Jakarta, 13 Mei 2010

Sabtu pun Meranggas

Desir angin pagi sampaikan senyum ungu seorang bidadari pada sebuah nama yang tergagap - gagap di depan cermin tua.
Lau cermin itu pun berteriak dalam bengis tutur nya:
Inilah kamu, pengembara yang mendaki di persimpangan jalan.

O, bidadari yang bersengketa dengan sinar rembulan yang ingkar janji tadi malam.
Mengapa engkau berikan senyum ungu kepadaku ?


Aku hanya seorang perindu.
Dan untuk seorang perindu, penantian hanyalah sebuah tanda waktu.
Angka – angka yang bicara.
Sedang di hati perindu tak akan ada kata – kata yang menjelma jenuh luka.

O, hentikan saja jenaka bermadah.
Terlalu sering ku dengar.
Cerita cinta tak akan berubah.
Hanya sederet mimpi yang indah.
Sebuah akhir di ujung kecewa, pilu, terkoyak dan luka.

Bukalah sedikit hatimu, wahai bidadari
Kenali siapa aku.
Pada parit aku pendam rasa hati.
Sebuah jawaban untuk sebuah nama yang nenanti aku di musim - musim kematian.

....dan wahai lembayung pagi.
Sampaikan madu pada gelas pesta ini kepadanya.
Tak kusangka kegairahan, membuka gerbang seribu mimpi - seribu rindu sekaligus seribu cahaya rembulan.
Dan tak akan kubangun seribu menara di atas unggun dendam dan sebaris luka pada hati.



Jakarta, 15 Maret 2010

Sajak Penyamaran Pandawa

Pada sebuah musim bunga di kemegahan istana Wirata.
Desir semilir angin pagi bergolak di keharuman taman istana .
Gemercik tetes – tetes air mengalun jatuh di pancuran.
Reranting kamboja merah bersengketa dengan perjalanan sunyi sang waktu.
Sedang gugur – gugur daun yang bersemayam di kolam masih juga tengadah pada ranting – ranting yang dulu melahirkannya.

“O, Yudhistira. Begitu pandai engkau wahai suamiku, namun begitu bodohnya engkau ! ”, batin Drupadi bergolak.

Hampir setahun Drupadi berganti nama.
Dan pada masa itu, orang – oarng Wirata memanggilnya Sarindhri.
Ya, Sarindhri !
Nama yang dulu Drupadi menyebutkannya ketika dia dan Pandawa memasuki Wirata sebagai sebuah penyamaran.

Dua belas tahun berlalu.
Begitu berat bagi Pandawa dan Drupadi harus mengembara dari hutan ke hutan.
Tiga belas tahun waktu yang di pertaruhkan lewat dadu di atas meja judi istana Hastina.
O, Sangkuni.
Begitu liciknya manusia itu…

Langkah Sarindhri begitu lembut menyusuri taman keputren istana.
Dan tertangkap di bening kedua matanya, Tantripala.
Begitu riuh tangan – tangan Tantripala merenungi nasib – nasib bunga di taman.
Seolah merenungi nasibnya :
Harus menyamar dan berganti nama dari sorang Sadewa menjadi Tantripala.

Yudhistira berpakaian sanyasin. Penasehat Wirata. Bijak dan cendikia.
Entahlah, mengapa dia memilih nama Kanka.

Abilawa, demikian penyamaran Bima.
Di tangannya, hewan – hewan terjagal lalu terhidang di atas meja – meja makan para pembesar Wirata.

Arjuna datang sebagai Wrehanala.
Begitu gemerlap pakaiannya.
Gemulai dia menari hingga selalu memicingkan mata yang melihatnya.

Sedang Nakula bersembunyi sebagai Grantika.
Begitu banyak kuda – kuda yang harus di latihnya untuk tunggangan pasukan berkuda Wirata.

Sungguh, begitu sempurna Pandawa menyamar pada kemegahan istana Wirata.
Hingga tak tersentuh mata – mata Hastina, sedikit pun.



Lalu,….terjadilah huru – hara itu.
Hastina dengan Karna sebagai panglima perang menyerang Wirata dengan begitu pongah.
Gegap gempita pasukan Hastina memasuki Wirata.

Dan Arjuna memasuki medan perang, datang menyambut…
Begitu gagah perkasa serupa Batara Indra.
Tajam sorot mata panahnya seolah belati menghunus jantung pasukan Hastina hingga remuk redam.

Sementara, dengan jiwa terbakar, Bima menghancurkan gajah - gajah Hastina.
Dan terdengar jeritan gajah – gajah itu, lalu menjelma riuh yang gaduh di medan perang.
Terkapar lalu mati.
Porak poranda….mengikis nyali dan nafsu perang seorang Karna.

O, Pandawa ….!
Kelima anak – anak Pandu itu pun mengusir Karna dan pasukan Hastina dengan jiwa – jiwa hening mereka.

Ini adalah hari terakhir penyamaran Pandawa di Wirata.
Tiga belas tahun sudah mereka lalui.
KIsah – kisah paling memilukan, harus terusir dari Hastinapura.

O, Jagad Dewa Batara !
Anak – anak Pandu membelah keheningan malam.
Dengan cahaya remang rembulan jingga.
Bersatu dengan desir angin purba.

“Arjuna, sudah lama kita tinggalkan peraduan cinta. Dari hutan ke hutan. Dari pantai ke pantai.
Menjamahi hari – hari. Menjamahi mimpi – mimpi. Mari kita bercinta, Arjuna !”, sapa kemayu Drupadi kepada Arjuna.
Dan mereka pun bercinta, meng-usaikan kisah – kisah paling memilukan :
Pembuangan dan penyamaran Pandawa.





Jakarta, 09 Maret 2010.

Pada Sebuah Keheningan Pantai

Pada hening sebuah pantai ketika di sengketakan oleh sunyi waktu.
Aku pradaksina.
Menjelajahi lengkung – lengkung semburat merah cakrawala.
Desir angin utara begitu semilir mengalun.
Sedang sejuk embun pagi telah ruap ;
Menjelma ujung belati .
Begitu tajam menghunus darah dan kebisuanku selama ini.

Gedebur ombak lamat – lamat menyampaikan salam ungu dari perjalanan seorang pertapa padaku.
Entah sudah yang ke berapa !
Mengapa dia berikan salam ungu padaku lagi ?
Sedang aku selalu gagap, luruh dan rubuh untuk menerimanya.

O, pertapa di keheningan perjalanan.
Aku begitu linglung menyingkap salam – salam itu.
Juga pagi ini, aku tak kuasa untuk sekedar mengerti.

Tunjukkan wahai pertapa,
Apa artinya awan kelabu di ujung langit jiwa ku ?
Apa artinya keharuman di balik rona merah bunga kamboja ?
Apa artinya bongkah – bongkah batu di deru air sungai mengalir ?
Apa artinya gedebur lembut ombak yang tertawa di pantai ini ?
Karena aku mengerti, wahai pertapa.
Ada tanda di balik pertanda.

Aku di sini.
Merenung lalu melintasi langit penuh imaji.
Dan aku lukis warna pekat sekuntum kaboja.
Sepekat warna darah dan dosa.



Ancol, Jakarta. 07 Maret 2010.

Pagi Yang Kehilangan Kicau Burung

Pada sebuah pagi yang kehilangan kicau burung.
Menjelma sebuah nama pada musim bunga yang selalu aku nantikan.
Membelah nadi di kepalaku.
Lalu angin utara begitu semilir mewartakan senyum ganjil di beku bibirnya.
Terseyum, dia datang padaku :
Sosok yang begitu ungu.
Dan bawa aku pergi bersama getar musim bunga yang mewangi.
Menghunus cakrawala dengan begitu tajam.

Telah aku hirup lagi sumpek udara pagi ibukota.
Aku di terdampar disini entah seberapa jenuh, di lambung kota yang riuh.
Dan aku saksikan bocah - bocah berwajah debu menuliskan mimpi - minpi liar mereka di tembok - tembok pinggir jalan.
Juga di atas trotoar.
Jejak malam yang ruap.
Begitu gemuruh namun sunyi dan hening.
Sedang sembab mataku begitu jauh, menelanjangi sorot mentari :
Menyimpan unggun - unggun kenangan.

Langit yang hampir rebah dan sekarat
Luruh pun runtuh.
Guntur pun kian gentur, menepi terbahak membahana.
Hujan deras dan airmata.
Berkilatan di pipiku, mengalir deras ke luas samudera.
Bergolak meng-alun ombak dan tertawa.




Jakarta, 14 Maret 2010

Dialog Dengan Seorang Pelacur Tua.

Tak peduli dengan keharuman memek atau pun bau ketek.
Juga bulatan tetek.
Ahh, kau makin tua !

Usiamu tertulis di lembar sejarah tinggal seumur embun di pagi hari.
Siapa kini ingin menyelipkan lembaran uang di sela – sela BH-mu ?
Juga menjemputmu dengan Mercy atau BMW ?
Adakah ?!

Kau tinggal seonggok tubuh berkidung sesal.
Sesal karena harus menjadi tua.
: Ah, andai aku muda dan abadi seperti Immortal Mc Leod, khayalmu.
Atau sesal karena harus melacur, 30 tahun lalu.
: Aku terpaksa, Cari kerjaan di Jakarta amat sulit Mas !, katamu .
Sedang perut masih butuh kenyang dan wajahku masih ingin di bedak dan di poles, katamu lagi.

Kasihan,

Untuk sekedar makan dan bayar kamar kost kini kau harap belas kasih lonthe – lonthe yunior-mu.
Kemana germo yang dulu kau di ajak ke Jakarta dari dusun yang ketika hujan jalannya becek dan berlumpur karena tak ber-aspal ?

Kau merenung kosong ke kalender tua yang masih saja kau pajang di tembok kamar.
Sekedar untuk mengenang hari pertama kau melacur di Jakarta, 30 tahun lalu.
Kau beri tanda jantung hati dengan spidol merah di tanggal itu !
Ya, hari pertama melacur dengan seorang presiden direkur sebuah perusahaan ternama.

Apakah engkau tau, dia mati kerena HIV,… setahun lalu.
Aku menulis nya di koran – koran.
Ahh, semoga kau tak kena virus konyol itu !
Karena kau harus menikmati sesal – sesalmu dan bercerita ke orang – orang tentang keharuman - keharuman memek, juga bulatan - bulatan tetek.

Bukankah demikian ?!

AKU MULAI MUAK

Aku mulai muak
Menunggu tanpa pernah bosan
Pada detik - detik di ujung gelisah
Di antara selusin pilihan
Di antara sekian kebenaran sekaligus ketakbenaran

Bagaimana aku harus mencari satu kata damai

Di antara butir – butir pasir gurun
Yang sudah bosan melihat kilau matahari

Di antara mulut – mulut peng-khotbah
Yang bau arak dan menyesatkan

Di antara senyuman para bidadari
Yang makin menggiurkan dan memabukkan

Diantara geliat penari bugil
Yang makin membangkitkan birahi

Diantara batu putih pada bukit – bukit kapur
Yang makin kering dan berdebu

Di antara wajah – wajah memelas bocah – bocah jalananan
Yang makin berisik menyanyikan lagu kemiskinanan di atas bus kota

Di antara muka – muka beringas preman
Yang baru saja memalak para penumpang di terminal – terminal

Bagaimana aku harus mencari satu kata damai
: sedang aku mulai muak menunggu…!

Bunga Kenangan

Sebelum kau langkahkan kaki-kaki tegarmu
Pandang mekar bunga – bunga taman senja ini
Di hamparan berseri halaman
Sejak tanganmu memekarkan bunga – bunga itu.


Sebelum mentari terbenam,
Ingin kusematkan kembang di telingamu.
Sejenak menahan rembulan pulangkan engkau.
dan bibir beku bisikkan nada-nada perpisahan
Kita harus pulangkan setiap kata dan kisah pada lengkung langit jingga

Nanti ,
Setelah hilangmu, apakah aku serupa ranting kering
Dan tanpa lelah ku lukai wajah rembulan.
Hingga pucat pasi, hilang segala teduh nya.

Lalu ku yakin kau tiada dalam rupa rembulan
: langit pun lepaskan siluet bayangmu.
Dan gelap malam sembunyikan jasadmu
di balik lembut harum wangi kamboja

Pada Sebuah Senja di Jalan Ini

“Sampai kita ketemu lagi”…!,

Tangan mu melambai dan kau berkata dengan bibir bekumu

Engkau pun meneruskan langkah-langkah tegarmu.

Di jalan ini, yang dahulu sering kita lewati berdua.

Sejenak aku terperangkap dalam gamang,

Kutatap lembayung merah di lengkung langit

Begitu damai melatari siluet sosok mu yang perlahan pergi.

Sebait syair bersenandung dalam senjaku di penghujung musim,

Riuh bergema dalam dentang dawai angan liar ku

Setelah engkau lenyap dalam batas mata nanarku

Lalu…

Kutatap batas cakarawala dengan sebentuk senyum tulus namun pahit

Inilah kisah tentang sebuah kematian kecil berupa perpisahan

Selamat jalan kekasihku….!

Dan jalan ini pun kian sepi, sesepi jiwaku.

LUKA ANAK PERAWAN

Anak perawan berdiri kokoh di ujung senja.
Memandang jalan…..
Jalang dan liar , ia tatap siapapun yang lewat.

Anak perawan menanti…
Menanti kekasih menghampiri, lalu mengajak pergi!
Pada suatu tempat indah. dan ia akan berkata
kepada ibunya, "Aku tak lagi sendiri, seorang pangeran
mengambil aku, bawa pergi ke tempat indah".

Lalu,…
Anak perawan tertegun diam dalam rumah.
Senyum kebisuan – kebisuan menghembus dari mulut bekunya.
Meratapi nasib, ia tak lagi berdandan.
Hatinya luka, pisau mengiris jiwanya.
Kekasih pergi bawa sebagian darah.

Dan,…
Anak perawan berlari pada lampu kota.
Mencari darah yang hilang di keramaian
Meminta kembali pada kekasih
Nyanyikan lagu permohonan dengan nada-nada sumbang.
Menggantung harapan
Hingga jiwa tenggelam pada sesal yang ia tak mengerti kapan berakhir.

MALAM PERTAMA

Aku terlelap dalam mimipi –mimpi jahilku
Memeluk warna jingga bulan di perut bumi
Mencari indah di balik bening matamu
Mengais asa pada rumput- rumput kering yang terus bernyanyi
Meski agak asing terdengar di telingaku

Lalu kau datang kepadaku dengan gaun putih pengantinmu
Kau pun tersenyum dan berucap salam
Tak seperti senyum dan salam–mu tahun lalu
: senyum aroma kepahitan dan keheningan
: salam pun salam abu – abu.

Kau tarik kedua tanganku yamg mulai terbakar dengan tangan misterimu
Yang berhias permata biru
Mengajakku berlari menyusuri jalan setapak terbungkus badai kabut
Dengan lilin –lilin berjajar sepanjang jalan

Dan kita berhenti sejenak kemudian
Masih kau gandeng tangan –tangan terbakarku
Memandang lembah – lembah dan hutan – hutan pinus
Di antara Merapi – Merbabu
Angin malam yang sama menyapa daun – daun pinus dan cemara di lereng –lereng lekuk gemulaimu

Mengusung Dendam

Selembar kertas buram di meja tua ini
Suatu pagi di ruang baca perpustakaan kampus tua
Menjadi lidah atas kata batinku
Yang tersembunyi dan tenggelam
Di balik putus asa – ku

Segunung hasrat segumpal darah
Telah membunuh dan mengubur aku dalam kubangan bau anyir
Aku anak manusia:
Ayahku Adam, Ibuku Hawa
Masih kuasa mengusung dendam
Masih kuat membawa amarah
Menghancurkan kasih yang terlukis dalam kilatan cahaya damai
Pun remukkan jiwa
Membunuh rasa pada dan segala apa – apamu
Tanpa pernah sempat kamu balas sedikitpun!

Aku pun bisa megobral dendam di mata dan jiwamu dengan ujung - ujung lidahku
Karena dendamku adalah rasa kasihku berupa kebencian
Yang akan merasuk pada tiap – tiap jiwa yang terpanggang
Hingga terbelenggu
: Lalu sekarat tanpa rasa dan mati tanpa makna

Meminum Bayangmu Di Gelas Pesta

Malam yang mempesona.
Aku hadirkan bayangmu lagi, entah yang ke berapa.
Lalu aku tuang ke dalam gelas pestaku.
Aku meminumnya.
: Menikmati bayangmu.
Hingga ku telan sampai lambung menetes ke hati.
Bayangmu meronta sambil meringis kesakitan.

Mungkin aku orang aneh yang terlahir di tengah musim bunga berguguran.
Meski aku belum merasa gila.
tapi, entahlah : gila atau waras.
Hanya orang lain yang berhak menilai atau bahkan memvonis.
Toh, orang yang gila menurutku, mungkin dia merasa waras.

Kembali ke bayangmu.
Ku hadirkan lagi.
: Aku pun menuangkan ke gelas pesta.
Aku minum. Namun rasa hausku tak hilang.
Bayangmu tak cukup meredam diam penderitaanku selama ini.
Karena berpisah denganmu adalah kepastian yang tak pernah aku cita – citakan.

Ku coba hadirkan engkau.
Berkali – kali aku meronta.
Ahh…aku tak bisa : mataku sakit, lidahku terhadang realita.

Malam, segeralah kau panggil matahari.
Bersama nyawa para embun menyambut fajar.
Kicau burung – burung.
Gemercik air di selokan – selokan.

Ku ingin menyambutmu, nanti !
Bersama anak –anak sekolah mananti bus kota.
Aku pun menanti hadirmu di sini.
Lalu bercerita tentang mimpi – mimpi indahmu di malam – malam hening pekat
tanpa kuasa rembulan.

14 Mei 2003 : Sajak Buat Endang

Ku berikan buku kecil yang sudah agak lusuh itu kepadamu
Saat kubeli, buku itu masih suci
: Belum ada mata yang memelototi huruf demi huruf di lembar –lembarnya
Belum ada bekas minyak mnempel di cover, juga tulisan – tulisan nakalku yang menghias.

Dan…..
Kau minta aku untuk jangan pernah lupakan engkau
Aku tersenyum beberapa kali dengan senyum yang tidak kau pahami maupun yang bisa kau pahami.
Benarkah ?

Lalu kau beri aku sebuah pin kecil,…manis
Sayangnya aku kurang bisa mengerti makna pemberianmu ini
Mungkin engkau tak mau kalah denganku atau memang engkau benar – benar ingin aku tak lupa padamu.
Benarkah?
Teriring senyum. Senyuman asing!
Senyum yang tak bisa ku pahami
Telah aku lihat senyum, bermacam senyum
: baik yang terlihat di bibir maupun yang terbaca di mata
Namun tak sperti senyum-mu!

Lalu, dua minggu waktu pun pergi menghilang
Kini kutemukan dirimu juga asing bagi diriku, juga hatiku
Kucoba temukan dirimu di lorong – lorong labirin otakku
Tak kutemukan
Kecuali beberapa saat, itupun bukan wajah atu senyummu.
Tapi namamu.
Tak kuingat lagi lengkung wajahmu, hidungmu juga senyum asingmu.
Kucoba lagi untuk temukan wajah dan senyum asingmu di pin yang kau beri padaku
Tapi tak ku dapati engkau
Asing!
Dirimu juga hatimu
Seasing dulu, sebelum kau tersenyum padaku untuk pertama kali.

Selembar Halaman Ayat

Begitu jauh aku dan Engkau
Selembar halaman dari Qur’an-Mu menjelma jarak
Ayat – ayat tak terkhatamkan
Dan tak dapat aku tembus untuk menuju-Mu
Dengan berabad nafas terhembus
Musim demi musim dan berlintas tarian bulan

Do’a dan mantera aku rapal
Menembus keheningan demi keheningan
Di malam – malam penuh hasrat
Selalu terpenggal kata Amiin, Ya Alloh….

Dan tiba- tiba aku merasa tak perlu menembus jarak itu segera
Karena nafas kehidupan masih panjang
Sedang rentang perjuangan masih terhampar luas seolah biru samudera
Apalagi genderang perang amat nyaring terdengar
Begitu banyak yang harus dikerjakan
Menjaga kota – kota tua :
Mekkah. Madinah dan AL Quds
Menjaga Ka’bah, Nabawi dan Al Aqso

Sementara darah dan nanah orang – orang Palestina, Iraq dan Afghan
masih juga belum kering

Ya Alloh, Ya Rabb,… ijinkan aku menembus ayat –ayat tak terselesaikan itu suatu saat nanti.
Seiring langkah – langkah memenuhi janji menuju-Mu

Pidatoku Yang Terakhir Untukmu

Seperti pagi – pagi sebelumnya,
Tak ada kopi baik manis ataupun pahit tersaji pagi ini.
Tak ada koran terbitan baru di atas meja tua itu,
( yang di atasnya sering aku pajang vas – vas keramik China berisi bunga mawar merah yang aku petik
dari kebun belakang rumah).
Juga tak ada kicau puluhan pipit di atas pohon – pohon cemara dengan daun – daun di hinggapi basahnya embun saat memancarkan cahaya kedamaian negeri.
Tapi, untunglah….masih ada senyum bunga – bunga melati menebar aroma surga.

Maka, mendekatlah padaku, wahai Engkau…
Yang tak bisa aku mendekap jiwamu.
Dengarlah pidato – pidatoku yang semoga untuk terakhir kali.
Meski terlihat usang, tetapi ini masih keluaran terbaru dari pabrik kata –kataku.

Dan…
Ambillah kertas serta tinta, karena ini amat sangat penting bagimu.
Setidaknya sebagi kenangan yang semoga terasa manis dariku,
wahai Engkau, yang jiwamu pun tak bisa aku kenali
Dengarlah syair – syair abstrak lewat ujung – ujung lidahku,
Menari membadai hasrat, menyesak sesak beratnya udara gunung.

Masih,
Kuping liarmu menikmati derasnya padato- pidato mengombak alun-ku,
Memecah bongkah –bongkah karang di lautan luas hatimu yang kemarin – kemarin
aku tak bisa menyeberanginya.
Karena kemarin – kemarin , aku hanyalah riak – riak kecil di atas air birumu.
Tapi kini aku adalah ratusan bergulung angin daan gelombang – gelombang ombak di atasmu

Lalu,….
Engkau menggigil ketakutan dan kebingungan meski berusaha untuk tegar dan tetap tersenyum.

Ku Jual Murah di Pasar Loak

Ku jual sebagian rasa setiaku padamu di pasar loak
Tak ketinggalan, juga sedikit cintamu padamu
Murah!!!
Bikin sedikit aku punya uang, juga semangat untuk tertawa ngakak
Dan buat aku merasa punya gengsi
: Meski aku tahu , kebodohan !

Lalu aku beli kehinaan berasa madu kegagahaan.
Menggiurkan,
Aku pun tertawa ngakak penuh hasrat sambil terkantuk –kantuk.
Semalaman bergadang,
: bukan main kartu remi atau ngaji
Tapi kencing!
Telah aku kencingi garis – garis sejarah yang terpampang di papan – papan reklame di sepanjang jalan kota tua ini

Ku jual sebagian rasa setia dan cintaku padamu di pasar loak
Murah!!!
Bikin aku sedikit punya uang untuk mabuk kepayang dan kepala melayang
Membuat matahari dan rembulan terasa mengalir di pembuluh – pembuluh darah
Lalu tergenggam keduanya di kanan – kiri tanganku
Aku tertawa ngakak sambil kentut daan meludah
Ku kentuti dengan rasa racun pada segala kepala dan isinya yang tak sesuai dengan kepalaku dan isinya.
Ku ludahi dengan rasa bisa pada segala makna dan arti yang tak bermakna dan tak berarti bagi jiwaku

Masih aku lanjutkan tertawa ngakakku dengan sisa – sisa semangat
Lalu diam !!!
Terasa miskin dan tak punya segala
Telah kujual rasa setia dan cintaku padamu di pasar loak.

Ruang Kuliah Yang Kemarin - Kemarin

Kujalani pagi yang berat , hari ini
Pagi ber-badai nafsu, ber-angin rindu
Berpelun – pelun ratusan bunga
Bercicit puluhan burung gereja
: Pagi yang berat

Dua pasang kipas angin terdengar berisik, meski agak sayup
Mengitari dan memutari dirinya,
Seiring otak dan kepalaku berputar mengelilingi tak indah-nya lengkung wajah Pak Dosen
Masih ruang kuliah yang kemarin –kemarin
Berhias enam lampu yang mulai redup
Seredup semangatku tentang dan untuk engkau

Kusapu ruang kuliah dengan mata jelalatan-ku
Memandangi satu persatu mahasiswa, baik yang aku kenal maupun tak aku kenal
Menangkap pikiran –pikiran mereka lewat rambut daan model – model baju mereka ,
Juga lewat wajah –wajah mereka yang tegang maupun yang santai –santai saja.
Ada yang aku pahami dan ada yang tak aku pahami sama sekali;
Juga ada setengah – setengah yang aku pahami.
Pagi yang berat!

Masih ruang kuliah yang kemarin – kemarin
Berlukis cat kuning pucat pasi tanpa motif
Berpuluh kursi kayu jati hampir semua mahasiswa mendudukinya
Menduduki segala hasrat
Menduduki semua mimpi - mimpi

Serius, tegang , wajah –wajah yang keras
Sekeras mereka meng-obok – obok rumus – rumus ataupun teorema – teorema
Demi hidup ,
Demi pacar dan kekasih gelap.
Demi ayah dan bunda,
Demi harga diri dan sebaris pembuktian
Juga tidak demi apa – apa atau bukan siapa - siapa bagi mereka

Pagi yang berat!
Masih ruang kuliah yang kemarin – kemarin.

Hujan Di Ufuk Pagi Di Sebuah Dusun

Gemercik rintik hujan di ufuk pagi
Tak ku sangka.
Shubuh – shubuh begini ?
Sedang perkiraan cuaca mengatakan :
“Yogyakarta Cerah, 24 – 30 derajat Celcius”
Begitu tulisan di TV semalam.
Ahh, ternyata…

Masih teramat pagi, hari ini
Dingin pun menusuk - nusuk tulangku
Butir – butir hujan jatuh satu - satu

Jauh ke depan ke batas lengkung cakrawala
Ku tatap dengan kedua bola mata liar ku
Jejalan hitam kian basah
Tak seperti biasa, udara menggelar aroma – aroma sepi
Sesepi aku menembus batas – batas keheningan
Dedaun dan ranting kelor menyalami aku dengan salam ungu.
Salam yang tegas menampar kesadaranku

Dimana perempuan setengah baya yang tiap hari jalan kaki di jalan itu ?

O, itu dia…
: Berpayung plastik putih sedikit kumal.
Di punggungnya ada tenggok yang begitu berat dia bawa dengan selendang hitam
Seberat dia melakoni kemiskinan dan kesahajaannya
Meski dia tetap tegar dan berusaha untuk terus melangkah

Hujan rintik di ufuk pagi di sebuah dusun
Masih di bilangan Gamping, sebuah kecamatan di Jogja

Tak akan pernah hilang dari ingatanku, pagi itu.

PETA DUNIA-KU BERWARNA HITAM – PUTIH

Seorang teman yang sudah kami lupa nama lengkapnya, bertanya pada kami :
“Dimanakah terletak gunung berapi yang tak punya lereng – lereng terjal, tak ada lembah – lembah dalam maupun kawah yang tiap saat mengeluarkan asap?
Juga ada rel kereta tapi tak ber-kereta dengan asap dan suaranya yang khas,
Juga ada jalan-jalan tak terlewati mobil-mobil baik yang mewah ataupun kuno juga bus-bus antar kota,
Juga ada danau-danau tak ber-air, apalagi angsa-angsa putih berenang di atasnya,
Juga ada kota – kota mati : tak ada penduduk baik laki-laki atau perempuan; muda atau tua yang entah kemana mereka pergi,
Juga ada laut dan samudera yang tidak lagi dipercaya untuk menampung birunya air?”

Tanpa berpikir dua-tiga kali, langsung kami jawab :
“Di peta, peta dunia-mu, kawan!”
Gelombang pertanyaan konyol kami jawab dengan konyol pula. Tapi benarkah ?
Jika memang benar, itu masih kurang tragis dari pada peta dunia kami.
Di peta dunia-nya, masih ada jalan – jalan merah menghubungkan lingkaran – lingkaran tanda kota.
Juga masih ada segitiga gunung dengan warna coklat atau kuning di sekitarnya.
Bahkan danu dan laut masih punya wrna biru kedamaiannya.
Di peta dunia-nya pun masih ada gambar pesawat tanda bandara, stasiun-stasiun atau stadion – stadion tempat manusia dengan berbagai warna kulit, bentuk rambut atu model baju berkumpul , bercanda dan berpesta……

Tapi,
Di peta dunia kami hanya ada dua warna, hitam dan putih.
Itupun terkotak – kotak.
Penduduk kami hanya ada dua pilihan, berada di area hitam atau area putih.
Tidak boleh di antara hitam dan putih, itu kehinaan bagi kami.
Dan ketika sudah memilih area, maka bersiaplah untuk membunuh arau mati terbunuh.
Berbagai jurus dan senjata kami punya, termasuk siasat – saiasat dan taktik – taktik juga intrik.
Itu penting, sangat penting!
Karena kami harus mempertahankan keyakinan – keyakinan, gaya hidup dan eksistensi kami.
Kami boleh menyeberang berganti area , meski harus di benci dan dicap sebagi pengkhianat oleh teman – teman lama kami padahal teman – teman baru kami menyambut kami sebagai pahlawan.
Kami saling menjatuhkan, yang akhirnya jatuh terbuang atau keluar sebagai pemenang.
Ada yang ksatria di antara kami, meski banyak pula yang licik penuh intrik
Ada yang berperang dengan otot kawat balung wesi saja, ada pula yang hanya otak super jeniusnya saja yang dipamerkan.


Di peta dunia kami, hanya bendera hitam dan putih saja yang boleh di kibarkan di langit hitam putih pula.
Di peta dunia kami, hanya ada dua warna, hitam dan putih.
Tidak boleh berada di antara keduanya, karena itu kehinaan bagi kami.
Tidak ada kaum munafik di dunia kami

Di peta dunia kami, hanya ada dua warna, hitam dan putih.

Malam yang Paling Gelap dan Penuh Pesona

Apakah engkau tahu
Kapan malam yang paling gelap
Karena bintang- bintang malas bersinar
Para bidadari melantunkan irama sumbang duka
Karena sang rembulan kehabisan terang

Apakah engkau juga mengerti
Kapan malam yang penuh pesona
Saat para kyai dan santrinya terlalu lelah untuk gemakan dzikir – dzikir mereka
Sementara di tempat lain,
lonthe – lonthe sibuk menjajakan tubuh semog atau tetek gede nya
Hingga tas – tas nya tak muat untuk menampung ciuman – ciuman dan muncrat sperma
: juga erangan –erangan serta rogohan – rogohan

Dan aku terus asyik main mata dengan buku – buku sastra para penyair kondang
: juga rumus – rumus matematika di diktat – diktat kuliah

Malam yang paling gelap dan penuh pesona
Hadir bersama dan bersatu dalam pesta – pesta.

Penantianku Di Ujung Senja

Jauh sudah langkah – langkah kaki menapak
Di padang gersang gurun penantian

Tanpa embun dan hujan
Rasa dan kata
Juga apa – apa dan bukan apa – apa

Hamparan kehampaan dan kekosongan

Jari tanganku tak mampu lagi menghitung jejak – jejak ku
Mengotori trotoar di jalan simpang - simpang
Menghisai taman – taman kota tua
Menulis di kalender – kalender sejarah
Menggambari di tiap ujung dunia
: Berratus abad terjerambab.
: Berratus musim terkoyak luka

Sayangnya, aku tak mengerti kapan akhir penantian ini
Sedang aku ingin secepatnya sambut tarian genit temaram senja
Saat burung – burung camar kembali ke sarang dan riuh domba tak bergema lagi
: Mengenang lagu – lagu lama yang sering aku nyanyikan
: Mengenang ciuman pertama pada kekasih

Ya, Tuhan…
Ku usap wajahku dengan cahaya-Mu
Kutanam di hatiku, keagungan-Mu
Kulabuh di samudra keheningan, ayat – ayat Mu yang tak selesai aku baca…

Ingin ku lepas bandana di kepalaku lalu menyebut nama-Mu
: dengan hening dan bening yang mendamaikan
: inilah hamba-Mu yang kotor di kubangan lumpur dosa

SELALU, SETIAP PERGANTIAN MUSIM

Knalpot berkicau mericau pada sebuah siang.

Di atas bus kota.
Ku dengar lagu dan musik usang sering di nyanyikan pengamen.
Yang itu – itu saja.
Juga masih dengan gitar butut yang sama.

Aku bosan menunggu untuk lagu – lagu baru.
Dengan musik – musik jaman baru dan penyanyi – penyanyi yang juga baru.
Selalu, setiap pergantian musim.

Namun ingin cepat – cepat mengenang lagu – lagu lama.
Dengan musik – musik jaman lama dan penyanyi – penyanyi yang juga lama. Selalu, setiap pergantian musim.

Musim baru datang teriring musim kematian.
Dengan kisah – kisah baru di atas panggung – panggung yang baru saja selesai di bangun.
Dan terpentas lakon – lakon terlarang di musim – musim lama.
Menguak segala rahasia pembunuhan – pembunuhan dan kelicikan – kelicikan penguasa musim lama.

Para hakim menghunus pedang, juga menggenggam segepok uang.
Siapa ter-eksekusi mati ; siapa terbahak bersorak.
Masih samar – samar,.
Tak begitu jelas.
Tiba – tiba terdengar jerit pekik kemenangan sekaligus kekalahan.
Selalu, pergantian musim.

Lalu para badut tertawa terkekeh di atas panggung.
Pak RT, Karyo si petani, Barjo yang penjual bakso, Bu Camat, Pak Bupati, Laksmi sang mahasiswi, Jeng Sri pedagang kain, ikut tertawa. Terpingkal !
Tersusul yang lain.
Masyarakat tertawa.

Rakyat tertawa.
Membahana bergemuruh.
Meski kadang tak tahu kalau tertipu.
Lalu tersipu malu, tersenyum kecut, sadari diri.
Kenapa mesti ikut – ikutan tertawa ?
: Sialan para badut…!

Selalu, setiap pergantian musim.

Semalam Bersama Lonthe

Ini malam saat lonthe-lonthe berbuka beha
Mencari lelaki yang ingin netek
Lalu sembunyikan dalam rimbun bangunan ibukota
dan mengajak jumpalitan di antara kamar – kamar hotel
Hingga lampu jalan tak akan menerobos mata duitannya.

Malam ini lonthe – lonthe datang dari setiap arah
Tapi lampu mobil aparat membuat mereka tak berdaya

Wajah - wajah bertopeng di antara bayang cahaya,
Terbakar bila harus betemu dengan sanak kadang.
Mengigil tangannya serasa tak sanggup memegang segala hasrat.
: lalu terbang bagai kupu – kupu.
Kelelahan menatap pijar lampu jalanan kota.

Malam ini lonthe – lonthe menangis.
Menunggu setiap lelaki yang kesasar.
Dia rela tubuh terjamah lelaki meski berasa remang-remang.
Dan berbaris mesum terlahir menari gemulai oleh siulan nafsu.
Menumpahkan segala hasrat dan muncrat sperma.
Menuntut hilangnya harga diri dan nurani apalgi cinta.

Semalam bersama lonthe – lonthe :
Ini ibukota, kawan…!
Ketika duit lebih berharga dari cinta, kata lonthe – lonthe begitu bersemangat

Sajak Buat Ratmiati : Di Tanah Leluhur Kita, Pagi Ini…

Di tanah lelulur kita, pagi ini….
Barisan hijau pepohon jati
Saat gerimis hujan masih bersahabat dengan gemuruh guruh
Dan cahaya kilat membakar beranda langit

Di tanah leluhur kita, pagi ini….
Aku terjebak dalam hamparan kenangan
Meng-anak kegamangan rindu yang terhempas
Juga kebisuan- kebisuan semilir angin utara

Jiwaku terhunus tajam pedang sejarah
Terluka dan terkoyak
Menghembus penyesalan demi penyesalan
Dalam ujung tarian kemelut darah nanah ku

Bayang bulat rembulan wajah ayu
Juga bening binar kedua bola matamu
Membawa aku ke musim - musim delapan tahun lalu
Ketika lembut sapamu masih nyaring di telingaku
Jejalan tanah basah mengotori sandalku saat melangkah ke rumah
Untuk sekedar menemukan sosokmu
Sedang dedaun dan reranting pohon kelor berisik teteskan basah sisa – sisa hujan
Delapan tahun lalu

Di tanah leluhur kita, pagi ini….
Aku mengungkap tanya :
“Siapa kini yang memeluk dan mendekap jiwamu,
juga membelai hitam kilau rambut panjangmu ?”
Masih mengungkap tanya :
“Di kota mana kini kau tempatkan anggun senyum bidadarimu?”
Yang dengan senyum itu , aku terkapar…..

Jiwaku bermimpi ;
Tentang mu,
Tentang jalan – jalan yang akan kau lalui,
Tentang lengkung wajah rembulanmu,
Tentang lembut sapamu,
dan menari oleh siulan genit angin senja di halaman rumahmu

Di tanah leluhur kita, pagi ini…
Aku terjebak dalam hamparan kenangan
Meng-anak kegamangan rindu yang terhempas
Juga kebisuan- kebisuan semilir angin utara.


Nglipar–Gunung Kidul, 25 Desember 2009

Siluet Perjalanan Sang Pengembara

Sendiri,
Sang Pengembara memasuki jalan gelap dan terjal itu.
Menantang segala halang dan rintang yang menghadang

Pagi begitu berat
Bercahaya lengkung pelangi dua warna
Sedang embun masih begitu bening jatuh satu – satu di dedaun pinus.

Dia raih sampul bandana di kepalanya
Menguaraikannya perlahan
Lalu dia sambut semilir kesiap sunyi angin timur
Di tatapnya tajam arah depan
Dan dengan lirih beku bibirnya dia berucap “Bismillahirrohmanirrohiim
Dia pun memulai,
Sebuah perjalanan….

Di bawanya seunggun hasrat - sebaris asa,
Lembar – lembar kalender sejarah,
Juga beban – beban amanat di pundaknya
Meski berat dan kadang tertatih,
Dia tetap tegar melangkah
Karena ayat – ayat telah menuliskannya
Dan dia harus mengikuti ayat – ayat itu, dia tahu…

Dibawanya peta – peta, sketsa – sketsa dan denah – denah.
Tak lupa, lentera jingga ; teman sejatinya
Karena dia mengerti, begitu mengerti,
Jalan – jalan akan penuh simpang,
Berliku dan terjal.



Jakarta, 04 Januari 2010.