Kamis, Mei 13, 2010

SETYOWATI DAN BULAN FAJAR MERAH

Kabut api meski sejuk pagi buta ini. Berdetak bersama menyatu dengan ke-emasan cahaya bulan sisa-sisa semalam.
Sesak. Teramat sesak! Wajah pucatmu tak mampu sembunyikan nada gelisahmu.

Bulan fajar merah………………….. Cahaya emasmu bersatu dengan kabut api pagi menemani sosok gadis belasan tahun, Setyowati.

Duhai Setyowati…! Tubuhmu mulai kurus……… mengecil, seiring mengecil langkah-langkahmu menyusuri lorong – lorong hidup yang kian kabur. Berat dan kian berat! Beban yang engkau pikul meski pundakmu bukan pundak yang harus memikul beban di depan matamu, juga di sisi – sisi tanganmu.

Setyowati….! Rambut panjang lurusmu, kemana kini kilau hitamnya? Dan telah engkau buang kemana binar cerah di kedua bola matamu? Yang dengannya engkau melihat ikan – ikan emas di kolam hijau berbunga teratai ungu. Serta, yang dengannya engkau hiasi senyum - senyum indahmu.

Setyowati….! Siapa yang mengganti rona merah padang mbulan kedua pipimu dengan warna – warni pucat pasi dan titik – titik duka air mata? Kecewa, duka nestapa, kesunyian diam beratus rasa menyatu di dirimu kini, Setyowati.

Bulan fajar merah, Sinar emasmu menyatu dengan kabut api pagi ini. Sampai kapan kuatmu menemani gadis milik para burung, para bunga, juga taman – taman ini? Hingga duka dan tangisan ratusan wanita di dusun – dusun, di kota – kota, di kebun – kebun anggur pun tak mampu menandingi duka nestapanya.

Duhai Setyowati, Air matamu jatuh satu – satu, membasahi gaun putihmu, juga kaki – kaki kecilmu. Siapa yang telah tega menukar cinta suci dan setia-mu dengan busuknya dunia?




Jakarta, 13 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar