Kamis, Mei 13, 2010

SELALU, SETIAP PERGANTIAN MUSIM

Knalpot berkicau mericau pada sebuah siang.

Di atas bus kota.
Ku dengar lagu dan musik usang sering di nyanyikan pengamen.
Yang itu – itu saja.
Juga masih dengan gitar butut yang sama.

Aku bosan menunggu untuk lagu – lagu baru.
Dengan musik – musik jaman baru dan penyanyi – penyanyi yang juga baru.
Selalu, setiap pergantian musim.

Namun ingin cepat – cepat mengenang lagu – lagu lama.
Dengan musik – musik jaman lama dan penyanyi – penyanyi yang juga lama. Selalu, setiap pergantian musim.

Musim baru datang teriring musim kematian.
Dengan kisah – kisah baru di atas panggung – panggung yang baru saja selesai di bangun.
Dan terpentas lakon – lakon terlarang di musim – musim lama.
Menguak segala rahasia pembunuhan – pembunuhan dan kelicikan – kelicikan penguasa musim lama.

Para hakim menghunus pedang, juga menggenggam segepok uang.
Siapa ter-eksekusi mati ; siapa terbahak bersorak.
Masih samar – samar,.
Tak begitu jelas.
Tiba – tiba terdengar jerit pekik kemenangan sekaligus kekalahan.
Selalu, pergantian musim.

Lalu para badut tertawa terkekeh di atas panggung.
Pak RT, Karyo si petani, Barjo yang penjual bakso, Bu Camat, Pak Bupati, Laksmi sang mahasiswi, Jeng Sri pedagang kain, ikut tertawa. Terpingkal !
Tersusul yang lain.
Masyarakat tertawa.

Rakyat tertawa.
Membahana bergemuruh.
Meski kadang tak tahu kalau tertipu.
Lalu tersipu malu, tersenyum kecut, sadari diri.
Kenapa mesti ikut – ikutan tertawa ?
: Sialan para badut…!

Selalu, setiap pergantian musim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar