Kamis, Mei 13, 2010

Sajak Penyamaran Pandawa

Pada sebuah musim bunga di kemegahan istana Wirata.
Desir semilir angin pagi bergolak di keharuman taman istana .
Gemercik tetes – tetes air mengalun jatuh di pancuran.
Reranting kamboja merah bersengketa dengan perjalanan sunyi sang waktu.
Sedang gugur – gugur daun yang bersemayam di kolam masih juga tengadah pada ranting – ranting yang dulu melahirkannya.

“O, Yudhistira. Begitu pandai engkau wahai suamiku, namun begitu bodohnya engkau ! ”, batin Drupadi bergolak.

Hampir setahun Drupadi berganti nama.
Dan pada masa itu, orang – oarng Wirata memanggilnya Sarindhri.
Ya, Sarindhri !
Nama yang dulu Drupadi menyebutkannya ketika dia dan Pandawa memasuki Wirata sebagai sebuah penyamaran.

Dua belas tahun berlalu.
Begitu berat bagi Pandawa dan Drupadi harus mengembara dari hutan ke hutan.
Tiga belas tahun waktu yang di pertaruhkan lewat dadu di atas meja judi istana Hastina.
O, Sangkuni.
Begitu liciknya manusia itu…

Langkah Sarindhri begitu lembut menyusuri taman keputren istana.
Dan tertangkap di bening kedua matanya, Tantripala.
Begitu riuh tangan – tangan Tantripala merenungi nasib – nasib bunga di taman.
Seolah merenungi nasibnya :
Harus menyamar dan berganti nama dari sorang Sadewa menjadi Tantripala.

Yudhistira berpakaian sanyasin. Penasehat Wirata. Bijak dan cendikia.
Entahlah, mengapa dia memilih nama Kanka.

Abilawa, demikian penyamaran Bima.
Di tangannya, hewan – hewan terjagal lalu terhidang di atas meja – meja makan para pembesar Wirata.

Arjuna datang sebagai Wrehanala.
Begitu gemerlap pakaiannya.
Gemulai dia menari hingga selalu memicingkan mata yang melihatnya.

Sedang Nakula bersembunyi sebagai Grantika.
Begitu banyak kuda – kuda yang harus di latihnya untuk tunggangan pasukan berkuda Wirata.

Sungguh, begitu sempurna Pandawa menyamar pada kemegahan istana Wirata.
Hingga tak tersentuh mata – mata Hastina, sedikit pun.



Lalu,….terjadilah huru – hara itu.
Hastina dengan Karna sebagai panglima perang menyerang Wirata dengan begitu pongah.
Gegap gempita pasukan Hastina memasuki Wirata.

Dan Arjuna memasuki medan perang, datang menyambut…
Begitu gagah perkasa serupa Batara Indra.
Tajam sorot mata panahnya seolah belati menghunus jantung pasukan Hastina hingga remuk redam.

Sementara, dengan jiwa terbakar, Bima menghancurkan gajah - gajah Hastina.
Dan terdengar jeritan gajah – gajah itu, lalu menjelma riuh yang gaduh di medan perang.
Terkapar lalu mati.
Porak poranda….mengikis nyali dan nafsu perang seorang Karna.

O, Pandawa ….!
Kelima anak – anak Pandu itu pun mengusir Karna dan pasukan Hastina dengan jiwa – jiwa hening mereka.

Ini adalah hari terakhir penyamaran Pandawa di Wirata.
Tiga belas tahun sudah mereka lalui.
KIsah – kisah paling memilukan, harus terusir dari Hastinapura.

O, Jagad Dewa Batara !
Anak – anak Pandu membelah keheningan malam.
Dengan cahaya remang rembulan jingga.
Bersatu dengan desir angin purba.

“Arjuna, sudah lama kita tinggalkan peraduan cinta. Dari hutan ke hutan. Dari pantai ke pantai.
Menjamahi hari – hari. Menjamahi mimpi – mimpi. Mari kita bercinta, Arjuna !”, sapa kemayu Drupadi kepada Arjuna.
Dan mereka pun bercinta, meng-usaikan kisah – kisah paling memilukan :
Pembuangan dan penyamaran Pandawa.





Jakarta, 09 Maret 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar