Di tanah lelulur kita, pagi ini….
Barisan hijau pepohon jati
Saat gerimis hujan masih bersahabat dengan gemuruh guruh
Dan cahaya kilat membakar beranda langit
Di tanah leluhur kita, pagi ini….
Aku terjebak dalam hamparan kenangan
Meng-anak kegamangan rindu yang terhempas
Juga kebisuan- kebisuan semilir angin utara
Jiwaku terhunus tajam pedang sejarah
Terluka dan terkoyak
Menghembus penyesalan demi penyesalan
Dalam ujung tarian kemelut darah nanah ku
Bayang bulat rembulan wajah ayu
Juga bening binar kedua bola matamu
Membawa aku ke musim - musim delapan tahun lalu
Ketika lembut sapamu masih nyaring di telingaku
Jejalan tanah basah mengotori sandalku saat melangkah ke rumah
Untuk sekedar menemukan sosokmu
Sedang dedaun dan reranting pohon kelor berisik teteskan basah sisa – sisa hujan
Delapan tahun lalu
Di tanah leluhur kita, pagi ini….
Aku mengungkap tanya :
“Siapa kini yang memeluk dan mendekap jiwamu,
juga membelai hitam kilau rambut panjangmu ?”
Masih mengungkap tanya :
“Di kota mana kini kau tempatkan anggun senyum bidadarimu?”
Yang dengan senyum itu , aku terkapar…..
Jiwaku bermimpi ;
Tentang mu,
Tentang jalan – jalan yang akan kau lalui,
Tentang lengkung wajah rembulanmu,
Tentang lembut sapamu,
dan menari oleh siulan genit angin senja di halaman rumahmu
Di tanah leluhur kita, pagi ini…
Aku terjebak dalam hamparan kenangan
Meng-anak kegamangan rindu yang terhempas
Juga kebisuan- kebisuan semilir angin utara.
Nglipar–Gunung Kidul, 25 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar