Kamis, Mei 13, 2010

Sabtu pun Meranggas

Desir angin pagi sampaikan senyum ungu seorang bidadari pada sebuah nama yang tergagap - gagap di depan cermin tua.
Lau cermin itu pun berteriak dalam bengis tutur nya:
Inilah kamu, pengembara yang mendaki di persimpangan jalan.

O, bidadari yang bersengketa dengan sinar rembulan yang ingkar janji tadi malam.
Mengapa engkau berikan senyum ungu kepadaku ?


Aku hanya seorang perindu.
Dan untuk seorang perindu, penantian hanyalah sebuah tanda waktu.
Angka – angka yang bicara.
Sedang di hati perindu tak akan ada kata – kata yang menjelma jenuh luka.

O, hentikan saja jenaka bermadah.
Terlalu sering ku dengar.
Cerita cinta tak akan berubah.
Hanya sederet mimpi yang indah.
Sebuah akhir di ujung kecewa, pilu, terkoyak dan luka.

Bukalah sedikit hatimu, wahai bidadari
Kenali siapa aku.
Pada parit aku pendam rasa hati.
Sebuah jawaban untuk sebuah nama yang nenanti aku di musim - musim kematian.

....dan wahai lembayung pagi.
Sampaikan madu pada gelas pesta ini kepadanya.
Tak kusangka kegairahan, membuka gerbang seribu mimpi - seribu rindu sekaligus seribu cahaya rembulan.
Dan tak akan kubangun seribu menara di atas unggun dendam dan sebaris luka pada hati.



Jakarta, 15 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar