Kamis, Mei 13, 2010

Pidatoku Yang Terakhir Untukmu

Seperti pagi – pagi sebelumnya,
Tak ada kopi baik manis ataupun pahit tersaji pagi ini.
Tak ada koran terbitan baru di atas meja tua itu,
( yang di atasnya sering aku pajang vas – vas keramik China berisi bunga mawar merah yang aku petik
dari kebun belakang rumah).
Juga tak ada kicau puluhan pipit di atas pohon – pohon cemara dengan daun – daun di hinggapi basahnya embun saat memancarkan cahaya kedamaian negeri.
Tapi, untunglah….masih ada senyum bunga – bunga melati menebar aroma surga.

Maka, mendekatlah padaku, wahai Engkau…
Yang tak bisa aku mendekap jiwamu.
Dengarlah pidato – pidatoku yang semoga untuk terakhir kali.
Meski terlihat usang, tetapi ini masih keluaran terbaru dari pabrik kata –kataku.

Dan…
Ambillah kertas serta tinta, karena ini amat sangat penting bagimu.
Setidaknya sebagi kenangan yang semoga terasa manis dariku,
wahai Engkau, yang jiwamu pun tak bisa aku kenali
Dengarlah syair – syair abstrak lewat ujung – ujung lidahku,
Menari membadai hasrat, menyesak sesak beratnya udara gunung.

Masih,
Kuping liarmu menikmati derasnya padato- pidato mengombak alun-ku,
Memecah bongkah –bongkah karang di lautan luas hatimu yang kemarin – kemarin
aku tak bisa menyeberanginya.
Karena kemarin – kemarin , aku hanyalah riak – riak kecil di atas air birumu.
Tapi kini aku adalah ratusan bergulung angin daan gelombang – gelombang ombak di atasmu

Lalu,….
Engkau menggigil ketakutan dan kebingungan meski berusaha untuk tegar dan tetap tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar