Kamis, Mei 13, 2010

Pagi Yang Kehilangan Kicau Burung

Pada sebuah pagi yang kehilangan kicau burung.
Menjelma sebuah nama pada musim bunga yang selalu aku nantikan.
Membelah nadi di kepalaku.
Lalu angin utara begitu semilir mewartakan senyum ganjil di beku bibirnya.
Terseyum, dia datang padaku :
Sosok yang begitu ungu.
Dan bawa aku pergi bersama getar musim bunga yang mewangi.
Menghunus cakrawala dengan begitu tajam.

Telah aku hirup lagi sumpek udara pagi ibukota.
Aku di terdampar disini entah seberapa jenuh, di lambung kota yang riuh.
Dan aku saksikan bocah - bocah berwajah debu menuliskan mimpi - minpi liar mereka di tembok - tembok pinggir jalan.
Juga di atas trotoar.
Jejak malam yang ruap.
Begitu gemuruh namun sunyi dan hening.
Sedang sembab mataku begitu jauh, menelanjangi sorot mentari :
Menyimpan unggun - unggun kenangan.

Langit yang hampir rebah dan sekarat
Luruh pun runtuh.
Guntur pun kian gentur, menepi terbahak membahana.
Hujan deras dan airmata.
Berkilatan di pipiku, mengalir deras ke luas samudera.
Bergolak meng-alun ombak dan tertawa.




Jakarta, 14 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar