Kamis, Mei 13, 2010

Dialog Dengan Seorang Pelacur Tua.

Tak peduli dengan keharuman memek atau pun bau ketek.
Juga bulatan tetek.
Ahh, kau makin tua !

Usiamu tertulis di lembar sejarah tinggal seumur embun di pagi hari.
Siapa kini ingin menyelipkan lembaran uang di sela – sela BH-mu ?
Juga menjemputmu dengan Mercy atau BMW ?
Adakah ?!

Kau tinggal seonggok tubuh berkidung sesal.
Sesal karena harus menjadi tua.
: Ah, andai aku muda dan abadi seperti Immortal Mc Leod, khayalmu.
Atau sesal karena harus melacur, 30 tahun lalu.
: Aku terpaksa, Cari kerjaan di Jakarta amat sulit Mas !, katamu .
Sedang perut masih butuh kenyang dan wajahku masih ingin di bedak dan di poles, katamu lagi.

Kasihan,

Untuk sekedar makan dan bayar kamar kost kini kau harap belas kasih lonthe – lonthe yunior-mu.
Kemana germo yang dulu kau di ajak ke Jakarta dari dusun yang ketika hujan jalannya becek dan berlumpur karena tak ber-aspal ?

Kau merenung kosong ke kalender tua yang masih saja kau pajang di tembok kamar.
Sekedar untuk mengenang hari pertama kau melacur di Jakarta, 30 tahun lalu.
Kau beri tanda jantung hati dengan spidol merah di tanggal itu !
Ya, hari pertama melacur dengan seorang presiden direkur sebuah perusahaan ternama.

Apakah engkau tau, dia mati kerena HIV,… setahun lalu.
Aku menulis nya di koran – koran.
Ahh, semoga kau tak kena virus konyol itu !
Karena kau harus menikmati sesal – sesalmu dan bercerita ke orang – orang tentang keharuman - keharuman memek, juga bulatan - bulatan tetek.

Bukankah demikian ?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar